Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Malahayati Si Panglima Inong Balee

10 September 2023   23:42 Diperbarui: 11 September 2023   11:35 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu peristiwa heroik di abad ke-16 yang dicatat rakyat Nanggroe Aceh Darussalam adalah ketika Laksamana Malahayati, panglima laut perempuan pemimpin pasukan Inong Balee membunuh perwira laut Belanda, Cornelis de Houtman pada 11 September 1599 di geladak kapalnya.

Kematian Cornelis de Houtman di atas geladak kapal De Leeuw ini tidak hanya menandai kegagalan Belanda untuk menguasai Aceh sebagai negeri jajahan mereka. Akan tetapi juga menggegerkan Eropa. Lantaran, De Houtman adalah penemu jalur pelayaran dan jalur rempah-rempah bagi Belanda di timur jauh.

Perjalanan awal Cornelis de Houtman tiba di perairan Banten di ujung barat pulau Jawa pada 27 Juni 1596, lalu kembali ke Eropa pada 14 Agustus 1597 membawa 240 kantong lada, 45 ton pala, serta 30 bal bunga pala. 

Keberhasilannya ini membuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi orang Eropa lainnya, dan berujung pada praktik kolonialisme di Nusantara. (Cornelis Houtman, New International Encyclopedia, 1905).

Cornelis de Houtman, menurut catatan, dikirim oleh pedagang-pedagang Amsterdam (Belanda) ke Lisboa, ibu kota Portugal waktu itu, untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang "kepulauan rempah-rempah" di Nusantara. 

Portugis sebelumnya pernah terusir dari bumi Aceh, sebelum Cornelis de Houtman. Para pedagang di Amsterdam memastikan bahwa Banten di Jawa merupakan tempat paling tepat untuk membeli rempah-rempah. Maka, sebelum ke Nusantara, didirikanlah Compagnie van Verre (Perusahaan Jarak Jauh) di Belanda (1594).

Perjalanan kedua Cornelis de Houtman ke Nusantara terhenti di Aceh. Bahkan tragisnya, Cornelis de Houtman tewas di geladak kapalnya sendiri, kapal De Leeuw di Aceh saat pertempuran dengan pasukan perempuan-perempuan Aceh, Inong Balee yang dipimpin Malahayati atau Keumalahayati pada 11 September 1599. 

Dalam catatan Aceh, De Houtman tewas ditikam dalam pertempuran satu lawan satu dengan Malahayati.

Pentas di Graha Bhakti Budaya

Kisah heroik dari perempuan-perempuan Aceh pada abad ke-16 ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki di Jakarta Pusat pada Jumat (8/9/2023) dan Sabtu oleh Teater Jalasena. 

Sutradara Iswadi Pratama tak hanya menampilkan artis Marcella Zalianty sebagai pemeran Keumalahayati, akan tetapi juga pemain-pemain teater senior seperti Aulia Sarah dan Cut Mini. Didukung penataan seni yang keren oleh Art Director Jay Subyakto. Digelar untuk merayakan ulang tahun Angkatan Laut RI yang ke-78 pada hari-hari itu.

Pentas teatrikal ini tidak hanya mengangkat eksistensi pahlawan-pahlawan perempuan Nusantara di masa lalu, akan tetapi juga sekaligus mengingatkan bahwa di masa lalu di Aceh tak hanya memiliki pahlawan Tjoet Nya' Dhien yang selama ini dikenal. Akan tetapi ada juga Keumalahayati, atau yang lebih dikenal sebagai Laksamana Malahayati.

Inong Balee sendiri adalah nama pasukan yang dipimpin dan dilatih oleh Malahayati di Fort Lamreh, terdiri dari perempuan-perempuan janda yang ditinggal mati oleh suami yang lebih dulu angkat senjata. 

Dendam kesumat terhadap penjajah karena kematian suami-suami mereka, membangkitkan semangat heroisme membela tanah air mereka, Nanggroe Aceh Darussalam pada abad ke-16.

Pentas-pentas Teater

Tampilnya artis Marcelina Zalianty sebagai pelaku teater, bahkan juga ia produsernya, mengingatkan bintang-bintang layar perak Indonesia legendaris di masa lalu, seperti Tuti Indra Malaon serta Teguh Karya dengan Teater Populernya di kawasan Kebon Kacang Jakarta Pusat. Juga Christine Hakim, serta Slamet Rahardjo Djarot dari kelompok yang sama dengan Teguh Karya, sutradara kondang di layar film di masa silam.

Pentas di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki kali ini, juga menggerakkan para pencinta seni teater untuk kembali berproduksi, dan berkarya, berkesenian di lokasi yang sudah dibangun kembali menjadi lebih modern. Sehingga memungkinkan pelibatan teknologi audio visual, untuk menggarap tampilan teater masa kini menjadi lebih menarik.

Taman Ismail Marzuki di tahun 1970-an dan 1990-an menjadi tempat berekspresi para seniman masa itu. Termasuk, aksi teatrikal yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok seniman seperti Bengkel Teater Rendra dari Yogyakarta. Teater Populer, Teater Kecil, Teater Koma, Teater Mandiri, juga Teater Gandrik-nya Butet Kartaredjasa dari 1985 sampai sekarang... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun