Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ngobrol Dua Jam dengan Cak Nun

13 Juli 2023   13:37 Diperbarui: 14 Juli 2023   06:23 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emha Ainun Najib (kiri) ketika menerima kami wawancara di Wisma Maiyah Yogyakarta pada 26 Maret 2022. (Dok Pribadi/Jimmy S Harianto)

"Pak Ishadi membuat media televisi sebagai media silaturahmi...," kata Emha, tentang peran Ishadi di televisi Yogyakarta tahun 1980-an. Padahal, sebelumnya, televisi Yogyakarta termasuk stasiun televisi terbelakang pada saat itu jika dibandingkan dengan TVRI Medan, ataupun TVRI Jakarta.

Dari semula hanya merelay macam siaran-siaran "klompencapir" (dialog menteri penerangan atau bahkan Presiden Soeharto dengan para petani yang direlay di seluruh TVRI Indonesia), Yogyakarta berubah menjadi produsen berita lokal yang berbobot. Tidak hanya siaran lokal berupa kesenian wayang, ketoprak yang laris ditonton, akan tetapi juga wawancara-wawancara kritis seperti program "Tanah Merdeka".

Program "Tanah Merdeka" yang memunculkan di antaranya Anies Baswedan, dan bahkan menurut Ishadi, juga pernah menampilkan Gandjar Pranowo (rival nanti di pencalonan presiden), merupakan program yang khas -- dibuat oleh anak-anak di bangku akhir SMA Yogyakarta, disutradarai anak-anak bangku akhir SMA, akan tetapi menampilkan acara serius dan bahkan menarik minat publik.

Salah satunya, ini menurut tutur Ishadi SK, suatu ketika Soeharto tertarik dengan siaran Tanah Merdeka Yogyakarta ini, sampai-sampai mengundang mereka ke Jakarta. Dan dijamu Soeharto, serta Ibu Negara Tien Soeharto yang memasak untuk mereka di sebuah pulau di Kepulauan Seribu Jakarta Utara.

Tetapi dasar Ishadi. Saat itu, ia pun mempunyai pikiran usil -- membisiki anak Tanah Merdeka untuk mengajukan pertanyaan nakal pada Presiden Soeharto. Pertanyaan yang tak akan pernah berani diajukan oleh media manapun di Indonesia saat itu:

"Mereka saya suruh bertanya pada Soeharto, kenapa ia bisa bertahan menjadi Presiden Republik Indonesia 30-an tahun, padahal menurut aturannya Presiden Indonesia hanya boleh dua kali menjabat...," tutur Ishadi.

Soeharto rupanya tidak marah, bahkan ketawa. Dan bukan Soeharto kalau tidak pintar berkelit: "Kan di Indonesia ini presiden dipilih oleh MPR (waktu itu belum ada pemilihan presiden langsung). Nah, MPR itu memilih saya terus. Ya saya tidak menolak...," ujar Soeharto, tersenyum lebar.

Pernyataan Soeharto yang ditanya anak-anak usia SMA ini menjadi pergunjingan luas di Indonesia (viral, kalau menurut istilah anak sekarang). Bahkan sampai dikutip media-media asing, seperti BBC London.

Pak Ishadi itu membuat televisi sebagai 'media silaturahmi manusia'. Ada kebudayaannya, ada nilainya. Ada yang disampaikan untuk perbaikan manusia dan seterusnya. Bukan hanya soal payu dan ora payu thok. Payu itu juga ada urusannya sendiri. Tapi kan Tidak menjadi pengendali utamanya seperti tivi swasta. Kalau tivi swasta ya pengendali utamanya itu tadi. Pokoke nek sing

payu wong ngeden ya bikin siaran ngeden terus.

Dokumentasi budayawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun