Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ngobrol Dua Jam dengan Cak Nun

13 Juli 2023   13:37 Diperbarui: 14 Juli 2023   06:23 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emha Ainun Najib (kiri) ketika menerima kami wawancara di Wisma Maiyah Yogyakarta pada 26 Maret 2022. (Dok Pribadi/Jimmy S Harianto)

Cak Nun pagi itu memberi waktu pada kami cukup longgar untuk ngobrol di Wisma Maiyah, markasnya di Yogyakarta pada 26 Maret 2022. Ada kalau cuma dua setengah jam kami berbincang.

Kami sengaja minta waktu pada Emha Ainun Najib, untuk wawancara khusus  dalam rangka penulisan buku biografi tokoh televisi nasional Ishadi SK yang dia kenal, ketika Ishadi menjadi Kepala Stasiun Televisi Yogyakarta antara tahun 1985-1987. Sengaja saya ajak isteri, agar obrolan dengan Cak Nun bisa berlangsung lebih lunak, tak hanya soal politik keras. Saat wawancara dilakukan, belum ramai dan viral soal Cak Nun mengatakan Presiden Joko Widodo, Firaun.

Sehari sebelumnya, 25 Maret 2022, Cak Nun dan kelompok teater serta gamelan Kiai Kanjengnya sibuk sekali berpentas di Taman Budaya Yogya tak jauh dari Pasar Beringharjo. Ishadi, yang akrab dipanggilnya Pak Is, sehari sebelumnya bahkan diminta nonton latihan terakhir pentas teater Cak Nun, bertajuk "Nglungsungi" (Berganti Kulit) yang meriah dengan kritik politik. Termasuk pula peran lakon di pentas yang "mirip" dimiripkan karakter Jokowi.

Juga ikut nonton teater di Taman Budaya Yogya petang di akhir Maret itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang rupanya juga tengah berada di Yogya bermaksud wawancara dengan Cak Nun, alias Mbah Nun. Bu Susi mengundang Cak Nun untuk bersedia diwawancara di Pangandaran, Jawa Barat untuk acara Bu Susi di televisi.

Apapun kritiknya, yang jelas sore itu penonton Taman Budaya Yogyakarta terhibur. Termasuk pula mantan Menteri Susi Pudjiastuti, malah memberi sambutan setelah pentas usai, meskipun Susi pun tak lepas dari kritik di pentas. Karena Bu Susi juga pernah jadi bagian dari kabinet Jokowi. Musik Kiai Kanjeng regeng, lelucon satirnya gayeng, dan para pemeran pun tampil di akhir pentas menyambut Susi Pudjiastuti, dan tentunya juga Ishadi yang nonton sampai usai di baris depan bangku Taman Budaya.

Esok harinya, kami diberi waktu khusus dua jam lebih, ngobrol di Wisma Maiyah tempat pusat kegiatan Cak Nun atau Mbah Nun dengan para pengikutnya di Yogyakarta. Duduk ngobrol dengan kami pun Cak Nun santai, berjegang kaki di kursi tamunya.

Bu Susi Pudjiastuti (nomor tiga dari kiri) dan Ishadi SK Mantan Direktur TVRI tahun 1990-an Ishadi SK saat nonton latihan teater Cak Nun di Yogya. (Dok Pribadi/Jimmy S Harianto)
Bu Susi Pudjiastuti (nomor tiga dari kiri) dan Ishadi SK Mantan Direktur TVRI tahun 1990-an Ishadi SK saat nonton latihan teater Cak Nun di Yogya. (Dok Pribadi/Jimmy S Harianto)

Pengagum Pak Is

Dalam wawancara di Wisma Maiyah itu, diam-diam seniman, penulis dan budayawan "mbeling" ini rupanya 'pengagum' Pak Is juga. Di media televisi, kata Cak Nun, Ishadi SK ini tiada duanya.

"Jadi kalau ada orang yang paling berjasa pada televisi Indonesia sebagai sebuah entitas yang lengkap, tidak hanya sebagai sebuah industri, ya beliau ini orangnya," ujar Emha, "Pak Ishadi itu panembahannya televisi...,"

Ketika Ishadi menjadi Kepala Stasiun Televisi Yogyakarta 1985-1987, dan melakukan pembaruan siaran lokal -- tak lagi mengutamakan "siaran relay pemerintah pusat" dan membalik komposisi dari semula 80 persen siaran relay pemerintah pusat, menjadi 80 persen siaran lokal Yogya saat itu, Emha dan juga budayawan Yogya lainnya saat itu masih banyak yang berusia 30an. Emha dikenal dengan karya-karya mbelingnya, sementara Butet Kartaredjasa selain bergiat di Teater Gandrik yang sering pentas di Jakarta, juga saat itu Butet menjadi "kuli tinta" (wartawan) untuk majalah televisi terbitan Jakarta, Monitor...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun