Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Hukuman Mati Sambo Percobaan 10 Tahun?

14 Februari 2023   07:00 Diperbarui: 14 Februari 2023   13:13 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ferdy Sambo usai divonis hukuman mati (Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Publik Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun spontan bersorak, ketika hari Senin (13/2/2023) Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menyatakan "hukuman pidana mati" terhadap Ferdy Sambo yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat, ajudannya.

Dalam sekejap, putusan atas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kadiv Propam Polri) ini menjadi trending topic di media sosial Twitter. Warganet pun riuh merespons putusan majelis hakim atas kasus yang selama lebih dari sebulan menjadi pusat perhatian.

Ini sungguh bertolak belakang dengan suasana pada 17 Januari 2023, ketika Jaksa Penuntut Umum disambut sorak buuuu..... saat membacakan tuntutan yang meminta Majelis Hakim PN Jaksel menghukum Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup. Begitu pula, dengan tuntutan 8 tahun penjara terhadap Putri Candrawathi istri Sambo, yang lebih ringan dari putusan hakim yang 20 tahun penjara untuk istri Sambo.

Putusan Majelis Hakim disambut hangat. Sebaliknya Jaksa Penuntut Umum yang meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup terhadap Ferdy Sambo, dinilai "Jaksa Penuntut Umum Masuk Angin".

Reaksi Hotman Paris

Tak lama setelah riuh warganet merespons "hukuman mati" terhadap Ferdy Sambo, rupanya disusul respons riuh berikutnya dari pengacara kondang Hotman Paris, yang mengingatkan: "Jangan keburu publik girang...,"

Media sosial, terutama TikTok, langsung memuat reaksi Hotman Paris: "Saya akan melamar jadi Kepala Lapas..," kata pengacara flamboyan ini, sembari mengibar-ngibarkan jarinya yang bercincin berlian besar itu.

Hotman mengingatkan, bahwa putusan "hukuman mati" oleh pengadilan itu tidak serta merta bisa dilaksanakan. Sebab, kata Hotman Paris, berdasarkan Pasal 100 pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru diundangkan dan diumumkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pengadilan "wajib melaksanakan hukuman percobaan 10 tahun" sebelum hukuman mati dilaksanakan.

Berbeda dengan KUHP lama yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, maka menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah diundangkan pada 6 Desember 2022, "hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun," Hal tersebut diatur dalam Pasal 100 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Pasal 100 ayat 1 KUHP baru itu mengatur, "hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri...,"

Dengan pasal 100 ayat 1 KUHP baru itu, Ferdy Sambo tidak serta merta segera dieksekusi mati, meskipun di PN Jaksel Ferdy Sambo "terbukti secara sah, melakukan perbuatan pembunuhan berencana atas Yoshua Hutabarat". 

Selama 10 tahun masa percobaan, Ferdy Sambo bisa berubah menjadi hukuman pidana penjara seumur hidup, jika Ferdy Sambo mampu menunjukkan "rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri,"

Rasa penyesalan itu, menurut Hotman Paris, bisa ditetapkan melalui "surat keterangan berkelakuan baik selama di penjara oleh Ketua Lapas atau Lembaga Pemasyarakatan". 

Maka, dengan diberlakukannya KUHP yang baru ini, kedudukan seorang Kepala Lapas akan dihargai mahal, melalui "surat keterangan berkelakuan baik" si terpidana selama di penjara. Dan tentu saja, keputusan perubahan hukuman itu harus disertai Keputusan Presiden (Keppres) dan melalui pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.

"Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung," demikian bunyi Pasal 100 Ayat 6 KUHP yang baru.

Meski demikian, amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di PN Jaksel hari Senin (13/2) itu tidak menyebutkan atau menyinggung "hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun" seperti bunyi pasal 100 KUHP baru tersebut.

Soal apakah "hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun" itu akan diberlakukan pada Ferdy Sambo, pendapat ini ditepis oleh anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil ketika ditanya wartawan pers Senin (13/2) kemaren menanggapi putusan hukuman mati terhadap Sambo. Bahwa "Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru itu berlaku tiga tahun setelah diundangkan. Sehingga KUHP baru itu tak mempengaruhi vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo...,"

Terbukti secara sah

PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman pidana mati terhadap mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo, yang terbukti secara sah "sengaja melakukan perbuatan pembunuhan berencana secara bersama-sama atas Nofriansyah Yoshua Hutabarat" ajudan Sambo pada 8 Juli 2022 di rumah dinasnya di Komplek Polri Duren Tiga Jakarta Selatan.

Selain terbukti memerintahkan bawahannya, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk menembak Yoshua Hutabarat, hakim PN Jaksel juga menyatakan Ferdy Sambo juga ikut menembak Yoshua dengan pistol Glock 17 bikinan Austria.

Putri Candrawathi istri Ferdy Sambo juga dinyatakan tahu akan rencana pembunuhan tersebut. Dan dalam pengadilan terpisah setelah putusan mati Sambo, Putri pun dijatuhi hukuman pidana penjara 20 tahun, lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya meminta 12 tahun penjara.

Motif pelecehan seksual yang dituduhkan dilakukan Yoshua pada Putri Candrawathi, dinyatakan oleh hakim tidak terbukti dan tidak perlu dibuktikan untuk sebuah kasus pembunuhan berencana yang ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun