Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesta Kawin Kaesang dan Erina Runtuhkan Kebekuan Solo-Yogya

12 Desember 2022   00:53 Diperbarui: 13 Desember 2022   04:30 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono/Kompas TV

Itu terutama semenjak peristiwa Palihan Nagari (1755) saat Mataram dibagi menjadi dua sama luas, menjadi keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, serta keraton Mataram Surakarta. Perjanjian segregasi dua kubu Mataram itu biasa disebut sebagai "Perjanjian Giyanti".

Perpecahan itu semakin diperlebar pada Perjanjian Jatisari, beberapa hari setelah Perjanjian Giyanti. Tidak hanya sekadar wilayah yang dibelah menjadi dua, antara Yogyakarta dan Surakarta. Akan tetapi juga budayanya.

Mulai saat itu, busana pun dibedakan. Yogyakarta terus menggunakan busana adat Mataram Lama (Sorjan) dengan ikat kepala Mondholan. Sedangkan Surakarta kemudian menciptakan busana baru, baju Beskap (beschaafd, beradab) tutup kepalanya Blangkon. 

Tidak hanya bajunya. Bahkan keris Yogyakarta dan Surakarta pun berbeda, baik warangkanya, hulu kerisnya, maupun perabotnya. Keris Solo resmi, warangkanya disebut Ladrang Surakarta. 

Sedangkan Yogya, Branggah Yogyakarta. Hulu keris Surakarta lebih besar, memperbaharui hulu keris pesisiran yang dipercantik, sedangkan Yogyakarta meneruskan gaya Amangkurat, dan juga modifikasi Mataram lama yang lebih kecil bentuknya dari hulu keris Surakarta.

Wayang pun demikian juga. Wayang (wayang kulit, maupun wayang orang), dibedakan antara Gagrak Surakarta, dan Gagrak Yogyakarta. Tidak hanya wanda maupun bentuk wayangnya. Bahkan suluk-suluk Ki Dalang, gamelannya, cengkok mendalangnya, beda Solo dan Yogya. 

Cara menari wayang orang Solo dan Yogyakarta pun berbeda. Bapangan (cara mengangkat kaki saat menari), pun beda antara Yogyakarta dan Surakarta. Yogyakarta bapangannya lebih tinggi mengangkat kakinya, sedangkan Surakarta tidak terlalu tinggi, setengah mengangkat kaki.

Begitu pula ragam batiknya, ragam rias pengantinnya, ragam tata caranya, bentuk tariannya. Baik untuk menata hias pengantin pria dan wanitanya, bahkan juga ragam hias raja pemimpin keratonnya... Pusing dah, pokoknya. Beda segala-gala, meskipun bedanya beda tipis-tipis.

Dicairkan Pesta Kaesang-Erina

Nah, kebekuan dan bahkan semacam "segregasi budaya" antara Solo dan Yogya, Yogya dan Solo ini, menjadi cair dalam perayaan pesta rakyat perkawinan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono selama dua hari,.

Akad di Yogyakarta dengan cara busana Yogyakarta menurut agama Islam. Sedangkan perayaan "ngunduh mantu" di Solo nya, pun full cara Solo. Baik busana, tutup kepala, maupun keris-keris yang disandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun