Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

In Memoriam, Sugeng Tindak Romo Tanto SJ

2 Maret 2022   12:38 Diperbarui: 2 Maret 2022   15:51 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Tanto memainkan biola

Nah, ketika disodori Romo Tanto yang lulusan sekolah musik di Belanda ini, musik "underground" Led Zeppelin punya, jenis hardrock? Ya kaget setengah mati. Karena, lagu-lagu kesenangan saya dulu itu, hanya sempat saya dengar di radio. 

Dari radio-radio amatir di Solo, jika saat libur sekolah, seperti Radio PTPN, Radio Atmajaya, Radio SAS. Atau, kalau lewat tengah malam, melalui radio tabung di rumah saya di Solo, mendengarkan sayup-sayup Blues Program dari Radio Retjo Buntung, Geronimo dari kota tetangga, Yogyakarta.

Jago Biola

Romo Tanto jago main biola dan piano, organ. Beliau pula, yang menganjurkan saya untuk memilih agar saya main instrumen biola, atau flute. Dan saya memilih biola. 

Guru pertama saya, seorang "virtuoso" kelas Mertoyudan, mas Kemis (nama aslinya rahasia). Guru kedua, ehm, kini Monsigneur Uskup Agung Jakarta. Juga pernah, diajar oleh Mas Jepun -- bukan orang Jepang. Tetapi karena konon, wajah beliau mirip seseorang lain asal Klaten yang julukannya Jepun.

Romo Tanto tidak hanya jago biola, dan vibrasi kirinya ketat, tidak mengalun seperti Mas Kemis. Pernah sesekali, Romo Tanto solis biola, padahal beliau memegang tongkat dirigen, konduktor orkes Merto. Beruntung, sempat ikut duduk sebagai violis Orkes Merto, di bangku biola pertama.

Romo Tanto pula, yang bertahun-tahun kami saat di bangku SMA Seminari di Mertoyudan, mengajar kami Cantus -- sebutan untuk pelajaran musik, tak hanya menulis not-not balok, serta sejarah musik klasik -- akan tetapi juga menulis not Gregorian. (Kalau not balok, garis nadanya lima garis, maka Gregorian hanya empat garis).

Dalam pelajaran Cantus, tak hanya diajar teori. Akan tetapi juga apresiasi. Sesekali diperdengarkan musik klasik, dengan alat pemutar piringan hitam yang kami sebut Phono. 

Foto Romo Tanto bersama teman-teman
Foto Romo Tanto bersama teman-teman

Bagaimana membedakan musik Barok-Rokoko di era Johan Sebastian Bach, dengan musik era Klasik Mozart, Vivaldi, serta musik-musik era Romantik seperti Beethoven. Jangan tanya, ekspresionis, sulit dicerna jika mendengar musik-musik Arnold Schoenberg, Anton Webern, atau Alban Berg. Dissonansi juga merupakan keindahan dalam bermusik...

Ah, tetapi Romo Tanto yang dulu mengajari kami pertama bermusik itu sudah pergi. Persis 1 Maret 2022 petang, beliau sowan Gusti di keabadian setelah sekian lama sakit di Kolese St Stanislaus Girisonta, Jawa Tengah -- setelah sebelumnya mengemban tugas terakhir di Paroki Tanjungpriok, Jakarta Utara, dan Gereja St Servatius di Paroki Kampung Sawah, Jatiasih, Bekasi Jawa Barat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun