Suatu hari Romo Tanto memanggil saya ke kamarnya. Ketika itu, Romo A Soetanto SJ masih Frater, belum ditahbiskan sebagai imam. Masih "Romo Mudo", menjadi Romo Surveillant kami, yang masih 'bys-bys' usia SMP tahun kedua.Â
Dan beliau bahkan tetap sebagai romo pengawas sampai kami usia SMA di Seminari Mertoyudan, Magelang -- sebuah sekolah asrama milik Jesuit yang diperuntukkan para siswa yang berkeinginan menjadi pastor. Ketika itu sekitar 1966-1970-an.
Saya memang termasuk sering keluar masuk, dipanggil ke kamar beliau. Karena sering kedapatan nakal -- bikin berisik Dormitorium (Bangsal Tidur Massal yang berisi sekitar 30-an bed susun, tanpa kasur, hanya selembar tikar di atas papan kayu, bed besi seperti bed rumah sakit, hanya satu bantal, dan satu selimut lorek, tanpa guling).
Kenakalan kurang ajar saya, dan juga sobat saya Gemboes (semua siswa di Seminari Mertoyudan selalu memiliki julukan miring, alias yang wagu-wagu atau jelek-jelek) adalah menakut-nakuti teman-teman sekelas yang sudah tidur di kegelapan dormit, sebagai "suster kesot".Â
Di keremangan lampu dormit, setelah lampu terang dimatikan dan sudah mulai pada mendengkur, kami berdua sering memainkan peran ini. Caranya? Pakai sarung, diikatkan di kepala di atas mata, lalu dibalik sedemikian rupa sehingga yang terbuka hanya bagian mata. Persis kayak ninja!
Paginya? Jangan tanya gemparnya. Banyak yang pada cerita: "Tadi malam aku diparanin (didatengin) Suster Kesot...," salah satu korban yang saya ingat, adalah sobatku Kancil.Â
Teman satu bed-ku, Akiem (kini almarhum) yang tidur di bawahku, aku di atas bed susun, biasanya senyum-senyum, tahu sekali kenakalanku. Akiem -- temanku sejak Sekolah Dasar di Bruderan Solo -- biasanya kompak. Malah membumbui. Suster Kesot pun beredar dari mulut-ke-mulut. (Blom ada henpon, viralnya manual saja, dari mulut-ke-mulut).
Ngithir
Tetapi rupanya kena karma Suster Kesot. Suatu ketika di kegelapan malam, sempat buang air di kegelapan malam. Nggak pada tempatnya.Â