Sehari, dua hari, suasana kantor masih berjalan ceria. Malah pada merasa bangga, surat kabarnya dibreidel. Kompas, yang selama ini dituding "penakut", ternyata berani memberitakan aksi mahasiswa yang selama ini dilarang keras diberitakan. Juga, aksi demo dan unjuk rasa mahasiswa.
Tetapi setelah lewat dari satu minggu? Wajah ceria pun mulai kusut. Soalnya tak ada tanda-tanda, Kompas bakal diterbitkan lagi, jika menyimak komentar para pejabat Orde Baru. Teman-teman puluhan koresponden di daerah, mulai mengungkapkan kekawatiran, bagaimana nasib keluarga mereka, jika Kompas ditutup seterusnya?
Pembicaraan Jakob Oetama-Ojong
Pembreidelan Kompas pada Januari 1978 ini memang bukan yang pertama kali. Belum genap lima bulan berdiri, Kompas sudah dilarang terbit pada 1 Oktober 1965 oleh pemerintah di era Soekarno. Sejumlah koran, tak hanya Kompas, pada 1 Oktober 1965 malam dilarang terbit oleh pemerintah.
Larangan itu diberlakukan empat hari, terkait pemberitaan tentang apa yang disebut Gerakan 30 September (G30S/PKI). Sehari setelah sejumlah jendral diculik dan ditemukan terbunuh di Lubang Buaya Jakarta Timur.
Namun pembreidelan kedua, yang terjadi di era pemerintahan Soeharto pada 21 Januari 1978 ini terasa lebih serius mengancam keberlangsungan surat kabar nasional ini.
Selain nasib di tangan penguasa Orde Baru, juga rupanya keberlangsungan Harian Kompas ditentukan dari pembicaraan dua pendirinya, PK Ojong Pemimpin Umum serta Jakob Oetama Pemimpin Redaksinya, pada suatu malam 4 Februari sampai 5 Februari dinihari 1978.
Pembicaraan serius dua pendiri Kompas ini menyangkut adanya tawaran dari penguasa Republik, Presiden Soeharto, jika Kompas ingin terbit kembali setelah dibreidel.
Saat dibreidel pada 21 Januari 1978, Kompas yang lahir pada 28 Juni 1965 ini terbit dalam 12 halaman. Diperbolehkan terbit lagi, jika bersedia menanda-tangani pernyataan tertulis yang berisi permintaan maaf, sekaligus berjanji untuk tidak memuat lagi tulisan yang menyinggung penguasa.
Inti pernyataan dan janji itu, ada empat hal. Pertama, tidak akan menulis tentang keluarga Presiden Soeharto dan asal-usul kekayaan keluarga Soeharto. Kedua, tidak akan mempersoalkan Dwifungsi ABRI. Ketiga, tidak akan menulis tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Keempat, tidak akan menurunkan tulisan yang memperuncing konflik.
Tentang hal ini, penulis yang juga wartawan Intisari dan juga Kompas Helen Ishwara, mengungkapkan dalam buku biografinya tentang Auw Jong Peng Koen alias Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) berjudul "Hidup Sederhana, Berpikir Mulia" (Penerbit Kompas, 2014) mengungkapkan hal menarik, menyangkut sikap dan pendirian yang berbeda antara PK Ojong dan Jakob Oetama dalam menyikapi tawaran penguasa Orde Baru ini.
"Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, atau nanti tahun depan, sama saja," kata Jakob Oetama, mengutip apa yang dikatakan Ojong. Dikutip oleh Helen Ishwara dalam buku tentang PK Ojong tersebut.