Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Soal Gila Bola? Thailand Jagonya

30 Desember 2021   06:30 Diperbarui: 30 Desember 2021   21:49 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penonton sepak bola Indonesia memang tidak mau melihat timnya kalah. Maka ketika Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan membantai Singapura 4-2 di Leg 2 Semifinal pas Hari Natal dan membawa mereka ke final Piala AFF 2020? Disanjung-sanjung luar biasa. Dan pelatih Korea Selatan Shin Tae-Yong pun diangkat setinggi langit sebagai ‘super coach’ bak dewa. Tetapi giliran kalah di Leg 1 Final kalah 0-4 lawan Thailand? Dimaki-maki.

“Saya sampai tak tega melihatnya....,” ujar seorang teman dalam komennya di laman facebook. Teman lain menulis, “Tadinya saya perkirakan kalah 0-3, eh meleset 1 jadi 0-4,” katanya. Komentar memang enak. Tetapi ya nggak boleh marah, penonton sepak bola Indonesia memang seperti itu. Menang timnya dipuji, kalah dicaci. Jangan kaget, itu sudah biasa.

Apakah tim kita buruk? Tidak juga. Lihat saja permainannya di lapangan, ketika lawan Malaysia, ketika lawan Singapura. Mereka bisa tampil menawan, dan percaya diri meski sebenarnya usia mereka kebanyakan masih seputaran 23 tahun. 

Pemain-pemain yang sudah keren permainannya seperti Asnawi sang kapten, Pratama Arhan, Egy Maulana Vikri, Rachmat Irianto, Ramai Rumakiek, dan juga pemain naturalisasi Elkan Bagott? Mereka semua masih berusia di bawah 23 tahun. Masa depan mereka masih cerah, permainan pun menjanjikan. 

Indonesia di Piala AFF pun tak perlu hati ciut. Masih ada Leg 2. Meskipun jalan untuk menang lawan Thailand, sungguh curam.

Pelatihnya? Shin Tae-Yong kiranya memang masih cocok melatih di Indonesia. Malah dinilai lebih baik dari pelatih Luis Milla yang nyaris mampu menempatkan tim U-23 Indonesia ke deretan delapan besar Asian Games 2018 Jakarta – kalau saja tidak kalah adu penalti lawan Uni Emirat Arab 3-4 (2-2) di babak 16 besar di Stadion Wibawa Mukti, Karawang pada akhir Agustus 2018 itu. 

Apalagi pelatih Skotlandia, Simon McMenemy, yang dipecat Indonesia karena tak mampu meraih satu kemenangan pun di babak kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar. 

Shin Tae-Yong, yang seperti juga Luis Milla – dia pelatih ‘semilyar’ karena gajinya satu juta dollar per tahun, berarti sebulan Rp 1,2 milyar – berani mengandalkan pemain-pemain usia di bawah 23 tahun menghadapi tim yang umumnya sudah matang bertanding, seperti Thailand. Bahkan sempat dicemooh publik, bakal kalah lagi lawan Malaysia dan Singapura. Dan ternyata menang. Dan main keren.

Gila Bola

Dari permainan di Leg 1 Final AFF Rabu (29/12) saat tim Garuda kalah 0-4 kemarin pun nampak, betapa permainan Thailand yang rata-rata lebih senior, memang lebih matang. Terlihat mereka tidak hanya bagus bermain karena latihan, namun sepertinya memang matang tempaan karena pertandingan, berkat kompetisi liga sepak bola yang mantap di negeri Gajah Putih.

Di antara sekian negeri di Asia Tenggara, Thailand dan Vietnam merupakan negara-negara yang “gila bola”. Bukan penontonnya saja. Akan tetapi juga pemain-pemainnya di lapangan. 

Menurut peringkat FIFA baik Thailand maupun Vietnam merupakan tim terbaik di kawasannya, dan saat ini menduduki peringkat 98 (Vietnam) dan 114 (Thailand) di dunia. Prestasinya dalam kompetisi kawasan, Thailand lebih baik. Bahkan tersukses di kawasan Asia Tenggara dengan lima kali juara AFF (ASEAN Football Federation) sementara Indonesia lima kali ini tampil sebagai finalis AFF sejak 2000. 

Reputasi sepak bola Thailand pun terbaik di dalam sejarah pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games) dengan sembilan kali juara. Lebih banyak dari tim Asia Tenggara manapun di pesta olahraga tersebut.

Untuk kelas Asia? Thailand di AFC Asian Cup terbaik pernah meraih peringkat ketiga pada tahun 1972 saat mereka tuan rumah. Dan setidaknya tujuh kali lolos tampil di Piala Asia. 

Di Asian Games pun Thailand terbaik peringkat keempat di Asian Games 1990 dan 1998. Dan dua kali timnas Thailand lolos ke Olimpiade. Dan lebih dari itu, Thailand dua kali pernah lolos kualifikasi final Piala Dunia pada 2002 dan 2018, tetapi gagal lolos ke FIFA World Cup. Yang jelas, sepak bola adalah olahraga nomor satu di Thailand. 

Dan tidak seperti Indonesia yang “matang karena latihan”, maka pemain-pemain Thailand rata-rata matang karena bertanding, matang dalam kompetisi. Kompetisi liga mereka tak terputus. Dan Persatuan Sepak Bola Thailand langsung di bawah ‘patronase’ Raja Thailand.

Thailand boleh dikata memang “gila bola”. Sehingga pemain-pemain top mereka pun memiliki julukan-julukan akrab, seperti layaknya julukan petinju di Amerika Serikat. 

Sebut saja misalnya, kapten tim Thailand di AFF kali ini Chanatip Songkrasin (yang tubuhnya terpendek dalam tim Thailand kali ini, akan tetapi justru lincah dan bahkan pencetak dua gol di gawang Indonesia di Leg 1 Final AFF kali ini) dia punya “panggilan lapangan” sebagai Jay. Atau Teerasil Dangda sebagai Mui. 

Dulu sekali, mereka juga pernah punya pemain pujaan, Piyapong Pue-on julukannya Took. Kiatisuk Senamuang sebagai Zico, dan sebagainya.

Pertandingan Liga di Thailand ada empat jenjang. Belum termasuk Liga Amatir Thailand. Kompetisi domestik, setiap tahun memperebutkan Thai FA Cup, Thai League Cup (untuk kejuaraan antarklub Thailand), serta Champions Cup – berupa kejuaraan tahunan yang mempertandingkan juara-juara Liga Primer Thailand dengan juara Thai FA Cup. 

Mirip dengan penjenjangan sepak bola Inggris. Gelaran internasional sepak bola di Thailand pun rutin. Seperti King’s Cup atau Piala Raja, berupa pertandingan antar tim nasional tahunan. Juga Queen’s Cup untuk pertandingan antarklub tahunan.

Belum termasuk kompetisi juniornya. Sepak bola junior, merupakan gelaran sepak bola yang populer di Thailand, dan Bangkok Youth League termasuk salah satu penyedia pemain untuk tim nasional mereka. 

Bukan semata-mata mengandalkan latihan di luar negeri semata. Akan tetapi terutama matang di kompetisi. Sebuah hal, yang sudah lama tak terjadi di Indonesia seperti di era 1980-an, 1990-an. PSSI saat ini tidak memiliki sistem kompetisi yang bisa diandalkan.

Kompetisi teratur dan berjenjang memang sudah seharusnya menjadi dasar pembinaan terbaik sepak bola. Bukan sekadar latihan. Itulah kekurangan kita..*

JIMMY S HARIANTO (30/12/2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun