Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Keris Jenderal Sudirman

20 September 2020   05:10 Diperbarui: 22 September 2020   21:05 6590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah di Cilacap dan pernah menjadi pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, namun Sudirman yang biasa dipanggil "Kiaine" (kyai-ne, sang kiai) karena alimnya ini, juga penganut paham kejawen.

Dalam kesehariannya, setelah diangkat sebagai Panglima Besar (1947), Sudirman yang kelahiran Purbalingga Banyumas itu bahkan selalu mengenakan atribut keris terselip di pinggang bagian depannya saat memimpin pasukan.

Kisah keris Sudirman yang menarik, diungkapkan dalam buku "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" oleh Soekanto dan juga dalam laporan khusus yang ditulis Tempo pada 12 November 2012 silam. Kisah keris sang Jendral ini terjadi pada tahun 1949.

Suatu hari awal Januari 1949, desing pesawat membangunkan penduduk-penduduk desa Bajulan, Nganjuk, Jawa Tengah. Warga yang tengah berada di sawah, di halaman dan di jalanan desa pada panik, masuk ke rumah atau bersembunyi di sebalik pepohonan.

Warga Nganjuk tahu, itu pesawat Belanda yang tengah mencari para gerilyawan sembari memuntahkan bom, mortir dan peluru.

Tak terkecuali Jirah, seorang perempuan desa berusia 16 tahun warga desa Bajulan. Ia gemetar di dapur, membayangkan gubuknya dihujani peluru. Di rumahnya ada sembilan laki-laki tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum di rumah tersebut.

Meski mengaku tak paham siapa orang-orang lelaki tersebut, namun Jirah menduga mereka adalah orang-orang yang dicari tentara Belanda.

Sewaktu pesawat terdengar mendekat, Jirah melihat seorang yang biasa dipanggil "Kiaine" memakai beskap (baju tradisional Jawa) yang duduk di depan pintu dikelilingi delapan temannya, mengeluarkan keris dari pinggangnya.

"Saya hanya mengintip dari dapur dan menguping apa yang terjadi," kata Jirah, dalam wawancara dengan Tempo September 2012 itu.

Kiane itu menaruh keris di depannya. Tangannya merapat, mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib, tutur Jirah, keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit rumah.

Suara pesawat kian mendekat, dan doa lelaki-lelaki itu makin terdengar nyaring. Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa pun mundur dari ruang tamu.

Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita, bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan Belanda.

Dari curi-curi obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, pendiam dan dengan nafas tercekat yang dipanggil Kiaine itu adalah Jenderal Sudirman.

"Saya mendapat kepastian bahwa itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa kami," tutur Jirah.

Buronan Kelas Wahid

Dok. Arsip Nasional RI via KOMPAS.com
Dok. Arsip Nasional RI via KOMPAS.com
Waktu Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/ Angkatan Perang Republik Indonesia (yang dipilih melalui pemungutan suara pada 12 November 1945 di antaranya mengalahkan Oerip Soemohardjo) sedang bergerilya melawan Belanda, rombongan yang menyertainya berjumlah 77 orang. Mereka datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon pada Januari 1949.

Di rumah warga Nganjuk yang bernama Pak Kedah itu, Sudirman ditemani delapan orang di antaranya Dr Moestopo, Tjokropranolo dan Soepardjo Roestam. Sebanyak 68 orang gerilyawan lainnya, menginap di rumah tetangga-tetangga Pak Kedah.

Selama lima hari berada di desa Bajulan, tutur Jirah, tidak sekalipun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk dengan mortir.

"Itu berkat keris dan doa-doa Kiaine...," tutur Jirah. Sudirman seolah-olah tahu, tiap kali Belanda akan datang mencarinya.

Belanda, yang menginvasi Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka (17 Agustus 1945), selalu gagal mencari buron nomor Wahid Kiaine Sudirman itu.

Sudirman, yang lahir pada Senin Pon 18 Maulud 1846 Jawa atau 24 Januari 1916 di dukuh Rembang, desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Banyumas Jawa Tengah itu, dibesarkan di Cilacap oleh ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo asisten Wedana di Rembang, Purbalingga.

Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo danj Toeridowati di Cilacap.

Memperoleh pendidikan formal Belanda untuk pribumi, Hollandsch Inlandsche School (HIS, setingkat Sekolah Dasar) pada usia 7 tahun pada 1923.

Selain dikenal rajin di sekolah serta pandai, Sudirman juga menjadi bintang lapangan sepak bola serta dijuluki Kiaine karena alimnya.

Namun, kecelakaan kecil di lapangan sepak bola, sempat terkilir kakinya, menurut tutur anaknya Mohammad Teguh Bambang Tjahjadi (63, tahun 2012 itu), sehingga kakinya cacat. Karena kaki cacat itu, sebenarnya ia pesimis menjadi tentara.

Namun ternyata dalam pemilihan pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat Angkatan Perang Republik Indonesia, ternyata ia malah mampu terpilih sebagai Panglima. Mengalahkan calon kuat lainnya, di antaranya Oerip Soemohardjo.

Sudirman sempat mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.

Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung.

Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidanchodan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.

Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. Sudirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho.

Meski dibesarkan di kalangan Muhammadiyah, namun Sudirman dikenal suka kejawen dan ikut dalam perguruan aliran kejawen Sumarah di Banyumas.

Dan ketika suatu ketika ia mengajar, jadi guru di Banyumas, Sudirman dikenal kalau mengajar sering memakai kisah pewayangan pada murid-muridnya.

***

GANJAWULUNG PAKBO (Taman Alfa Indah, 12/08/2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun