Potret Emosional dalam Karya-karya Kartono Ryadi
Andai saat lahir dia sudah bisa memotret, maka potret-potret yang dibuat Kartono akan sangat dramatis. Kartono Ryadi alias Go Joe Kiat lahir di Pekalongan saat tiga wilayah Pekalongan yakni Brebes, Tegal, Pemalang sedang mengalami pergolakan akibat politik Tanam Paksa oleh kolonial Belanda.
Go Joe Kiat lahir di Pekalongan pada 30 Juni 1945, jelang kemerdekaan Republik Indonesia, dan meninggal di Jakarta sudah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Agustus 2005.
Potret-potret wartawan foto Kompas yang lama tinggal di Gang Sentiong Kramat Jakarta Pusat ini umumnya menyentuh rasa kemanusiaan, dari ekspresi sedih, senang, gejolak, kacau, atau mengangkat yang tak terlihat mata orang biasa, menjadi sesuatu yang menyentuh.
Dari Pangeran Bernhard dari Belanda memeluk orang utan ketika berkunjung ke Indonesia (1975), sampai mata Susi Susanti berkaca-kaca sampai menitikkan air mata, lantaran untuk pertama kalinya Indonesia berhasil meraih medali emas di arena Olimpiade Barcelona, melalui raket bulu tangkisnya (1992).
Sejarawan Onghokham (1975) menuliskan, Pekalongan secara sosio-ekonomis pada 1945 itu diwarnai tekanan, penindasan, kesengsaraan dan kemelaratan akibat dijalankannya politik Tanam Paksa.Â
Eksploitasi di lapangan ekonomi tidak saja dijalankan oleh pemerintah jajahan, akan tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional. Sejak di dalam perut ibunya pun, Kartono sudah mengalami berbagai tekanan hidup.
Nah, Kartono Ryadi sebagai fotografer kebetulan juga banyak menyiratkan suasana keterjajahan suasana hati pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru, era Soeharto.Â
Di tengah pembatasan ketat pada jurnalis-jurnalis tulis, Kartono Ryadi sebagai wartawan foto bisa menangkap sisi-sisi menyentuh melalui jepretan kameranya, yang masih pakai filem seluloid.Â
Tingkat kesulitan tersendiri, pakai filem seloloid jika dibanding dengan fotografi era digital yang bisa langsung tahu hasil jepretannya saat itu juga, real time. Memotret pakai seluloid, benar-benar memotret pakai khayalan, abstrak, baru tahu hasilnya setelah berjam-berjam memotret.
Kartono itu makhluk penuh akal. Tidak hanya suka ngerjain teman dalam candanya setiap hari, akan tetapi juga mencari akal dalam serba keterbatasan sikon.Â