Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Kohabitasi” Versi Indonesia

8 Oktober 2014   16:26 Diperbarui: 17 Oktober 2019   17:35 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kala nanti jadi dilantik pada 20 Oktober 2014 mendatang, maka Indonesia akan memasuki era baru pemerintahan yang belum pernah terjadi. Katakanlah, semacam “pemerintahan kohabitasi” versi Indonesia.

Kohabitasi versi Indonesia, ditentukan Selasa (7/10) malam lalu, saat Majelis Permusyawaratan Rakyat akhirnya memutuskan melalui voting, untuk memilih politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menjadi Ketua MPR, menyisihkan calon dari koalisi Indonesia Hebat (KIH) Oesman Sapta Oedang.

Kemenangan Zulkifli Hasan sebagai Ketua MPR yang baru ini mengukuhkan langkah Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisinya capres Prabowo-Hatta untuk menyapu hampir seluruh pucuk pimpinan parlemen, baik dari pucuk Ketua DPR-nya, MPR-nya, maupun hampir seluruh wakil-wakilnya....

Publik politik Indonesia pun masih ingat, saat-saat dramatis pada 2 Oktober 2014 sampai dinihari, serta menyaksikan secara langsung beberapa adegan malah terlihat “memalukan”–saat politisi Golkar Setya Novanto terpilih sebagai Ketua DPR-RI periode 2014-2019 melalui voting, yang diwarnai aksi walk out koalisi Indonesia Hebat yang dimotori oleh partai pemenang Pemilu Legislatif, PDI Perjuangan. 

Adegan tak elok–antara yang ngotot merebut kekuasaan demi kekuasaan di DPR dan interupsi wakil-wakil rakyat yang sebagian tak ditanggapi–berlangsung dari malam hingga dinihari.

Pertarungan kekuatan di parlemen Republik Indonesia ini, semua orang juga tahu – merupakan buntut dari pertarungan di Pilpres 2014, antara Jokowi dan JK dan rival pesaingnya, Prabowo-Hatta.

Jokowi-JK dinyatakan sebagai Presiden Terpilih RI 2014 baik versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pengukuhan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi bulan lalu. Sementara Prabowo-Hatta meneruskan langkahnya untuk menempuh jalur politik demi menguasai parlemen.

Apakah agenda selanjutnya? Tentu, rakyat yang kini sudah melek politik dan tidak bodoh, akan terus mengikuti – apakah jalur politik ini demi merebut kekuasaan, ataukah memang untuk memperjuangkan kepentingan demi kemaslahatan rakyat banyak. Kita tunggu dengan debaran jantung...

Kohabitasi a la Indonesia
Lalu apa itu kohabitasi versi Indonesia? Kohabitasi, secara harafiah bisa diartikan sebagai “hidup bersama tanpa ikatan nikah”. Hanya saja, kohabitasi dalam artian ini, adalah hidup bersama hanya didasari rasa cinta.

Namun kohabitasi dalam pengertian politik pemerintahan, istilah ini sudah sejak lama dikenal di Perancis, dan setidaknya sudah tiga kali berlangsung–saat Presiden Perancis (yang terpilih melalui mekanisme langsung tersendiri oleh rakyat) serta Parlemen datang dari kekuatan partai atau koalisi partai yang berbeda.

Pimpinan Parlemen Perancis, yang ditandai dengan posisi kursi Perdana Menteri, adalah pucuk pimpinan yang berasal dari partai pemenang pemilu–yang diselenggarakan secara terpisah, dan tahun pun berbeda dari Pilpres Perancis.

Perancis pernah menjalani masa-masa kohabitasi yang sulit, lantaran Presiden dan Parlemen berasal dari sayap yang berbeda. Dalam istilah politik di Perancis, disebut sebagai golongan kiri, golongan kanan, atau bahkan golongan tengah kiri, dan tengah kanan seperti yang terjadi pada pemerintahan Jacques Chirac.

Pemerintahan Kohabitasi di Perancis, disebut-sebut sebagai produk “Republik Kelima” pasca era Revolusi Perancis, alias “era dekratonisasi” di Perancis. Pertama kali terjadi, pada masa Presiden François Mittérand dari sayap kiri, dipaksa harus berdampingan dengan pemerintahan sayap kanan yang dimotori PM Jacques Chirac pada (1986-1988).

Pada era kohabitasi Mittérand-Chirac (1986) ini, kohabitasi berjalan secara unik. Lantaran Mittérand sebagai Presiden Perancis lima tahun, praktis hanya menjalankan politik luar negeri.

Sementara PM Chirac yang terpilih untuk masa lima tahun namun dalam tahun berbeda, menjalankan pemerintahan dalam negeri, mengelola roda pemerintahan sehari-hari Perancis.

Dan, terjadilah pertarungan politik, saat Chirac banyak mementahkan reformasi politik yang dicanangkan Mittérand yang sosialis itu, dengan menurunkan pajak serta melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan nasional di Perancis.

Terjadilah, tarik-menarik kekuasaan antara Chirac dan Mittérand. Beberapa kali, Mittérand menolak menanda-tangani ordonansi reformasi yang diajukan oleh pemerintahan PM Chirac untuk meloloskan undang-undang melalui parlemen.

Langkah pemerintahan Chirac pun terhambat. Tarik-menarik berlangsung selama dua tahun, sampai akhirnya Mittérand pada 1988 berhasil terpilih kembali sebagai Presiden serta menggelar kembali pemilu parlemen memenangi pemilihan dengan partai sosialis kirinya, dan memerintah selama lima tahun ke depan.

Rupanya siklus pun berjalan seperti roda, saat di atas, bisa berbalik posisi berada di bawah. Tahun 1993, Presiden François Mittérand menghadapi situasi sebaliknya.

Saat dalam pemilu parlemen (pemilu Assemblé National) golongan partai kanan memenangi 80 persen kursi parlemen. Sekali lagi, presiden sayap kiri Mittérand dipaksa untuk menunjuk Perdana Menteri dari sayap kanan, dan terpilihlah PM Edouard Balladur.

Kohabitasi Mittérand-Balladur (1993-1995) pun berjalan sulit, sementara Jacques Chirac konsentrasi untuk meraih ambisi, sebagai Presiden Perancis. Dan 1995, Presiden terpilih Perancis adalah Jacques Chirac, yang waktu itu adalah Wali Kota Paris.

Dengan Presiden Chirac dari sayap kanan, serta PM Balladur dari kanan pula, maka Perancis pun memasuki periode pemerintahan kanan, dan kemudian kursi PM pun diganti oleh tokoh kanan lainnya, Alain Juppé.

Semestinya masa jabatan Chirac baru berakhir 1998. Akan tetapi, lantaran kesalahan yang dilakukannya saat menggelar kembali pemilu parlemen 1997. Dan ternyata, malah pemilu 1997 dimenangkan oleh golongan sayap kiri.

Terpaksa, presiden kanan Chirac pun harus menunjuk PM dari sayap kiri pemenang pemilu, maka terpilihkan PM Lionel Jospin dari partai Sosialis.

Jospin pun memegang kekuasaan melalui kursi PM di parlemen, selama lima tahun ke depan sejak 1997. Sehingga, Kohabitasi ketiga di Perancis, Chirac-Jospin (1997-2002) tercatat sebagai pemerintahan kohabitasi terlama dalam sejarah Perancis.

Pemerintahan Chirac menyebut, masa lima tahun itu sebagai “masa kelumpuhan” Perancis, lantaran pengaruh politik Chirac terganjal kekuasaan kiri.

Kursi parlemen dikuasai sepenuhnya oleh kelompok kiri, sementara simbol kekuasaan Perancis di tangan Presiden sayap kanan, Jacques Chirac. Rakyat Perancis pun menderita saat mengalami masa-masa “kelumpuhan politik” selama lima tahun.

Nah, apakah “kelumpuhan politik” juga akan terjadi di Indonesia saat Presiden terpilih Jokowi dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kala dinyatakan sebagai kepala pemerintahan Indonesia pada 20 Oktober 2014 nanti?

Tentu, sistem politik pemerintahan di Indonesia berbeda dengan Perancis. Lantaran roda pemerintahan di Perancis, dikendalikan oleh seorang Perdana Menteri.

Sementara, di Indonesia, roda pemerintahan ada di tangan Presiden, sementara parlemen (DPR-MPR RI) memegang wewenang legislasi.

Meski demikian, “kelumpuhan politik” Indonesia masih mungkin terjadi. Terutama, jika agenda Prabowo-Hatta melalui  Koalisi Merah Putihnya memang bertujuan memakzulkan pemerintahan Jokowi-JK di parlemen, suatu ketika di tengah masa pemerintahan.

Rakyat Indonesia tentunya akan sangat ketat mengamati, walau tak berdaya menghambatnya suatu proses yang diharapkan tidak akan terjadi ini.

Harapan rakyat, tentunya, agar masa-masa “kohabitasi” versi Indonesia ini tidak akan berjalan seperti masa-masa kohabitasi di Perancis, di mana tarik-menarik kekuasaan akhirnya malah merugikan rakyatnya.

Roda pemerintahan berjalan tersendat, karena pertentangan politik, dan ujung-ujungnya roda ekonomi pun tak berjalan sebagaimana mestinya... *

 



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun