Media sosial memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi. Ruang publik digital adalah ruang baru untuk partisipasi. Ada dialog, ada kritik, ada pesan.
Ada risiko, dari fragmentasi ruang publik hingga polarisasi, manipulasi algoritma, perlu pengawasan dan surveillance  capitalism, dan attention economy, media sosial dapat menggangu fungsi dasar demokrasi.
Karya terbaru Acemoglu, Power and Progress ( 2023), yang berkolaborasi dengan Prof Simon Johnson. Tentang Tehnologi.
Kemajuan Tehnologi dapat memperburuk ketimpangan, jika tehnologi tersebut dimonopoli oleh segelintir elit yang mengendalikan penggunaanya. Karena itu, distribusi manfaat dari tehnologi sangat tergantung pada bagaimana institusi yang ada mengatur dan mengarahkan perkembangan tehnologi.
Sekarang ada erosi di "Ruang Publik". Seharusnya adalah ruang dimana warga dapat berdiskusi dan berdebat tentang masalah publik secara rasional ( Habermas).
Warganet, Â muncul di era Global tahun 1900an dan Media sosial, muncul ditahun 2000an. Optimisme muncul diawal dan pada saat ini muncul kekhawatiran baru dan skeptisme. Focus bergeser dari rasional ke konten sensasional. Pada giliran merusak demokrasi deliberatif.
Pengkikisan demokrasi. Hoax dan disinformasi. Algoritma media sosial mempromosikan konten yang bertarget menjadi viral, termasuk disinformasi yang merusak kepercayaan publik ( melalui personal branding, framing).
Tehnologi dan politik oleh Evgency Morozov dalam The Net Delusion, memperingatkan bahwa terlalu banyak orang percaya bahwa tehnologi, khususnya media sosial dapat memperbaiki masalah politik seperti korupsi atau soal partisipasi politik, pandangan ini terlalu sederhana, karena masalah politik jauh lebih kompleks. Akhir2 Â ini ada operasi kasus Fufufafa.
Salah satu aspek penting dari demokrasi era digital adalah transparansi yang ditingkatkan dalam proses politik dan pemerintahan. Dengan adanya akses terbuka ke informasi dan data, warga negara memiliki kesempatan untuk melacak dan memahami keputusan politik yang dibuat oleh pemimpin mereka. H
Hal ini menciptakan tekanan bagi pemerintah dan lembaga politik untuk bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan mereka, serta memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan pemerintahan.
Digitalisasi yang terjadi saat ini membuat model pengawasan publik lebih banyak dan meluas. Munculnya citizen journalism juga mendorong transparansi semakin terlihat nyata di ruang publik melalui dunia  digital. Logika akan membawa anda dari titik A ke titik B, imajinasi akan membawa kemana- . mana. Singkat adalah jiwa kecerdasaan.
Lawrence Lessig, seorang ahli hukum dan pendiri gerakan reformasi Fix Conggress First di Amerika tentang Industri, "Hukum Digital" atau " kode sebagai hukum baru" jika tidak diregulasi, platform ini hanya akan memperburuk masalah demokrasi dan manipulasi politik.
Mau tidak mau kita harus memiliki "perlengkapan perang" yang memadai. Senjata terpenting tentulah penguasaan terhadap data.
Oleh karena itu, strategi paling tepat untuk menghadapi perang persepsi, tentu harus bermuara pada penguasaan data. Pada upaya untuk membangun "kedaulatan digital".
Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, kini bertambah luas perannya menjadi pentingnya  "Kedaulatan Digital" sebagai suatu kemajuan zaman yang tak terhindarkan. Kita diingatkan Habermas Demokrasi pasca - Kebenaran tidak akan lagi menjadi demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H