Mohon tunggu...
Jimmy Hitipeuw
Jimmy Hitipeuw Mohon Tunggu... Guru - Mantan wartawan

Pemerhati isu sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Pekik Kepedulian dalam Untaian Song for Refugees

11 Juli 2024   21:55 Diperbarui: 21 Juli 2024   10:08 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) mencatat jumlah orang yang terpaksa mengungsi di seluruh dunia meningkat tajam selama 12 tahun terakhir dan mencapai 120 juta pada tahun 2023.

 Menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), hingga 1,7 juta orang atau 75 persen dari populasi telah mengungsi di Jalur Gaza akibat peningkatan secara signifikan aksi kekerasan di sana.

Sementara agresi Rusia ke Ukraina mengakibatkan lebih dari delapan juta pengungsi Ukraina mencari suaka di Eropa. Jutaan orang juga terpaksa menjadi pengungsi pada tahun lalu akibat pertempuran sengit di Republik Demokratik Kongo dan Myanmar.

Indonesia hingga saat ini selalu menjadi negara transit bagi para pengungsi asing yang biasanya ingin menuju Australia dan Selandia Baru. 

Selain Rohingya, Indonesia juga menjadi negara transit bagi pengungsi yang berasal dari Afghanistan dan negara lain dalam dua puluh tahun terakhir. 

Laporan UNHCR menyebutkan jumlah pengungsi Rohingya di tanah air mencapai 2.026 orang per 27 Mei 2024. Ada sekitar 12,295 pengungsi terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia. Kebanyakan pengungsi di Indonesia berasal dari Afghanistan atau mencapai 48%. Sekitar 16 persen pengungsi berasal dari Myanmar dan 9 persen lainnya berasal dari Somalia.

Indonesia sendiri bukanlah negara yang tergabung dalam Konvensi 1951 mengenai pengungsi dan Protokol 1967. Oleh karena itu, bukanlah merupakan kewenangan bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan penentuan status pengungsi.

Dengan demikian, pengaturan permasalahan mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR sesuai dengan mandat yang diterima berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950. 

Semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum.

Sebagai negara hukum yang berdaulat, Indonesia dinilai perlu untuk memberikan kejelasan sikap dalam rangka menangani persoalan pengungsi yang ada. 

Para pengungsi yang ada tidak dapat dibiarkan terus menerus seperti sekarang tanpa adanya kejelasan hukum dan aturan yang melindungi mereka. Pada dasarnya setiap manusia yang ada di dunia, sesuai dengan hukum internasional, tidak diperbolehkan hidup tanpa memiliki kewarganegaraan.

Refugee dalam terjemahan bahasa Indonesia diartikan pengungsi. Pengungsi adalah mereka yang dikarenakan oleh ketakutan akibat penganiayaan, masalah ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya tanpa mendapatkan kepastian perlindungan hukum dan nasib dari negara mereka sendiri. Sejumlah permasalahan tersebut memicu pengungsi dengan secara terpaksa meninggalkan negaranya.

Minimnya perlindungan HAM terhadap pencari suaka dan pengungsi, termasuk di Indonesia, dikarenakan pemerintah cenderung mengkriminalkan mereka dengan menyamaratakan sebagai imigran ilegal. Menurut Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) merupakan salah satu unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK).

Dalam pelaksanaannya, Rudenim tidak saja difungsikan sebagai tempat menampung Orang Asing yang dikenai TAK, tetapi juga sebagai tempat penampungan pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri. Hal ini karena keterbatasan tempat penampungan pengungsi dan pencari suaka yang ada dalam satu wilayah tertentu.

Nasib pengungsi, terutama terhadap ibu dan anak-anak, di beberapa wilayah ini sungguh memprihatinkan karena tidak adanya kepastian hukum terhadap perlindungan nasib hidup mereka. Potret keprihatinan ini diantaranya terlihat dari lebih 100 pengungsi Rohingya yang berada di Kota Sabang, Aceh, akhir tahun lalu.

Lebih dari 130 pengungsi yang menumpangi sebuah kapal reyot itu hanya ditampung di tempat tinggal sementara berupa tenda untuk melindungi mereka dari terik matahari dan hujan. Beberapa warga setempat terpaksa secara sembunyi-sembunyi memberikan bantuan makanan ala kadarnya ke para pengungsi karena kedatangan para pengungsi itu mendapatkan penentangan dari sebagian besar warga lokal.

Tidak heran apabila sebagian pengungsi, terutama anak-anak, mulai jatuh sakit. Kasus yang paling umum adalah gatal-gatal di kulit dan kepala. Tidak sedikit juga yang diare. Beberapa pengungsi menyadari bahwa warga lokal menolak kehadiran mereka sejak kapal yang jauh dari kelayakan sebagai alat angkut membawa rombongan pengungsi itu berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Sabang, tanggal 2 Desember tahun lalu.

Para pengungsi yang dihadapkan pada kenyataan harus diusir paksa dari wilayah Aceh karena ijin tinggal sementara yang diberlakukan berakhir menjelang akhir tahun lalu. Kenyataan ini mengakibatkan para pengungsi tidak memiliki tujuan kemana seharusnya mereka pergi selanjutnya. Mereka hanya menerima bantuan seadanya yang diberikan UNHCR saat pertama kali tiba di Aceh.

Berdasarkan data dari tahun-tahun sebelumnya, UNHCR mencatat telah ratusan pengungsi Rohingya yang tewas dalam upaya mereka melarikan diri dari Myanmar. 

Sekitar 348 orang tewas atau hilang ketika melarikan diri dari Myanmar atau Bangladesh melalui jalur laut pada tahun 2022. Mereka tewas saat melarikan diri dari negara mereka melalui jalur laut yang berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala.

Kasus kematian ini menjadikannya tahun yang paling mematikan sejak 2014 atau saat lebih dari 700 orang dilaporkan tewas atau hilang dalam upaya putus asa untuk mencari perlindungan dari aksi penganiayaan di kampung halaman mereka. Kasus kematian akibat kesengsaraan pengungsi yang melarikan diri dari negara sendiri ini tidak hanya terjadi pada pengungsi Rohingya, tetapi juga pada pengungsi di sejumlah negara lain serta melibatkan korban tewas dari kalangan ibu dan anak.

Ungkapan keprihatinan terhadap nasib para pengungsi di berbagai belahan dunia ini diangkat oleh seorang seniman, KRT Daud Wiryo Hadinogoro, melalui ungkapan lirik lagu yang ditulisnya dalam Song for Refugees. 

Lewat alunan musik di bawah arahan komposer Erwin Badudu, KRT Daud Wiryo Hadinogoro mengekspresikan kedukaan mendalam terhadap nasib pengungsi di seluruh dunia yang tidak lepas dari jerat kesengsaraan dan kematian yang jauh dari jangkauan perhatian dan belas kasih di negara yang disinggahi oleh mereka.

KRT Daud Wiryo Hadinogoro menekankan nasib pilu para pengungsi, terutama di Indonesia, tidak hanya membutuhkan ungkapan keprihatinan, tetapi lebih dari itu, yaitu ungkapan dan tindakan nyata bangsa dan negara untuk memberikan uluran tangan dalam menarik mereka dari lubang kesengsaraan dan penderitaan.

"Tetapi tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk mendekati para pengungsi yang ada di Indonesia, saya perlu belajar bagaimana keadaan kejiwaan mereka (pengungsi) sebab mereka datang dari negaranya yang terjadi konflik dan bencana, dan jelas mereka merupakan warga yang stateless," ungkap KRT Daud Wiryo Hadinogoro saat menguraikan kondisi para pengungsi di Indonesia yang jauh dari kepastian hukum serta kesejahteraan sehingga hidup di bawah tekanan sejumlah permasalahan yang mencekam.

Pengalaman KRT Daud Wiryo Hadinogoro dalam menemani, melayani, dan membela hak-hak para pengungsi tidak terlepas dari kerjasamanya dengan sejumlah pihak, termasuk Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno, Associate Communication Officer UNHCR Mitra Salima Suryono, dan Direktur Nasional Jesuit Refugees Service Indonesia Romo Martinus Dam Febrianto SJ.

Lewat ekspresi Song for Refugees, KRT Daud Wiryo Hadinogoro mengajak segenap bangsa dan  negara dari berbagai umat untuk menyadari bahwa ratapan dan jeritan tangis para pengungsi merupakan panggilan dari setiap insan untuk menunjukkan wujud kasih Tuhan bagi para pengungsi. 

Panggilan misi kemanusiaan ini disuarakan KRT Daud Wiryo Hadinogoro lewat Song for Refugees yang selengkapnya dapat disimak melalui videonya dengan mengklik  https://www.youtube.com/watch?v=gFLuNKd3EvA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun