Refugee dalam terjemahan bahasa Indonesia diartikan pengungsi. Pengungsi adalah mereka yang dikarenakan oleh ketakutan akibat penganiayaan, masalah ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya tanpa mendapatkan kepastian perlindungan hukum dan nasib dari negara mereka sendiri. Sejumlah permasalahan tersebut memicu pengungsi dengan secara terpaksa meninggalkan negaranya.
Minimnya perlindungan HAM terhadap pencari suaka dan pengungsi, termasuk di Indonesia, dikarenakan pemerintah cenderung mengkriminalkan mereka dengan menyamaratakan sebagai imigran ilegal. Menurut Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) merupakan salah satu unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK).
Dalam pelaksanaannya, Rudenim tidak saja difungsikan sebagai tempat menampung Orang Asing yang dikenai TAK, tetapi juga sebagai tempat penampungan pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri. Hal ini karena keterbatasan tempat penampungan pengungsi dan pencari suaka yang ada dalam satu wilayah tertentu.
Nasib pengungsi, terutama terhadap ibu dan anak-anak, di beberapa wilayah ini sungguh memprihatinkan karena tidak adanya kepastian hukum terhadap perlindungan nasib hidup mereka. Potret keprihatinan ini diantaranya terlihat dari lebih 100 pengungsi Rohingya yang berada di Kota Sabang, Aceh, akhir tahun lalu.
Lebih dari 130 pengungsi yang menumpangi sebuah kapal reyot itu hanya ditampung di tempat tinggal sementara berupa tenda untuk melindungi mereka dari terik matahari dan hujan. Beberapa warga setempat terpaksa secara sembunyi-sembunyi memberikan bantuan makanan ala kadarnya ke para pengungsi karena kedatangan para pengungsi itu mendapatkan penentangan dari sebagian besar warga lokal.
Tidak heran apabila sebagian pengungsi, terutama anak-anak, mulai jatuh sakit. Kasus yang paling umum adalah gatal-gatal di kulit dan kepala. Tidak sedikit juga yang diare. Beberapa pengungsi menyadari bahwa warga lokal menolak kehadiran mereka sejak kapal yang jauh dari kelayakan sebagai alat angkut membawa rombongan pengungsi itu berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Sabang, tanggal 2 Desember tahun lalu.
Para pengungsi yang dihadapkan pada kenyataan harus diusir paksa dari wilayah Aceh karena ijin tinggal sementara yang diberlakukan berakhir menjelang akhir tahun lalu. Kenyataan ini mengakibatkan para pengungsi tidak memiliki tujuan kemana seharusnya mereka pergi selanjutnya. Mereka hanya menerima bantuan seadanya yang diberikan UNHCR saat pertama kali tiba di Aceh.
Berdasarkan data dari tahun-tahun sebelumnya, UNHCR mencatat telah ratusan pengungsi Rohingya yang tewas dalam upaya mereka melarikan diri dari Myanmar.Â
Sekitar 348 orang tewas atau hilang ketika melarikan diri dari Myanmar atau Bangladesh melalui jalur laut pada tahun 2022. Mereka tewas saat melarikan diri dari negara mereka melalui jalur laut yang berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala.
Kasus kematian ini menjadikannya tahun yang paling mematikan sejak 2014 atau saat lebih dari 700 orang dilaporkan tewas atau hilang dalam upaya putus asa untuk mencari perlindungan dari aksi penganiayaan di kampung halaman mereka. Kasus kematian akibat kesengsaraan pengungsi yang melarikan diri dari negara sendiri ini tidak hanya terjadi pada pengungsi Rohingya, tetapi juga pada pengungsi di sejumlah negara lain serta melibatkan korban tewas dari kalangan ibu dan anak.
Ungkapan keprihatinan terhadap nasib para pengungsi di berbagai belahan dunia ini diangkat oleh seorang seniman, KRT Daud Wiryo Hadinogoro, melalui ungkapan lirik lagu yang ditulisnya dalam Song for Refugees.Â