Mohon tunggu...
Jimmy Geovedi
Jimmy Geovedi Mohon Tunggu... -

"We tried so hard to create a society that was equal, where there'd be nothing to envy your neighbour. But there's always something to envy. A smile, a friendship, something you don't have and want to appropriate." — Commisar Danilov (Enemy at the Gates)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hary Tanoe Pejuang Ekonomi Kerakyatan (Seri-8)

5 Juni 2014   10:04 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAKARTA. Swasembada pangan sudah seharusnya terjadi di Indonesia. Malah jika digarap dengan benar pertanian akan menjadi kontributor besar bagi perekonomian bangsa ini.

Tanah subur, lahan yang bisa digunakan untuk pertanian pun masih luas. Namun hingga saat ini Indonesia masih impor kebutuhan pokoknya mulai dari beras, jagung, susu, kedelai, dan lainnya.

Lahan pertanian kian tahun makin menyusut. Kementerian Pertanian memperkirakan peralihan fungi lahan mencapai sekitar 100.000 hektare per tahun. Sawah beralih fungsi menjadi perumahan, dan lainnya.

Profesi petani yang tidak memberikan penghasilan cukup juga ditinggalkan. Petani beralih profesi, yang bisa memberikan hasil yang lebih baik. Generasi muda dari keluarga petani lebih memilih profesi yang menjanjikan masa depan.

Maklum menjadi petani di Indonesia umumnya hidupnya masih pas-pasan. Kepemilikan lahan dibawah setengah hektar, belum lagi kelangkaan pupuk, resiko gagal panen, dan saat panen tiba-tiba datang serudukan impor. Duhh Pak Tani, ngenes Pak.

Sudah begitu tak ada proteksi harga terhadap barang impor. Tentu akan sangat berbeda hasil pertanian impor yang didukung pemerintahnya di negara mereka. Di negara-negara maju para petani diberi subsidi besar, baik pupuk hingga peralatan. Belum lagi petani disana memiliki lahan lebih luas, peralatan moderen dan cara bertani yang canggih. Untuk head to head dengan petani Indonesia yang hanya bermodal caping dan cangkul rasanya kok tak adil. Lebih tak adil lagi jika impor tersebut adalah dumping dari negara asal.

Intip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan jumlah rumah tangga pertanian selama 10 tahun terakhir turun sebanyak 5,1 juta.Jumlahnya menjadi 26,1 juta pada 2013 dari sebelumnya sebesar 31,2 juta rumah tangga pada 2003.

Ketua Umum Persatuan Indonesia, Hary Tanoesoedibjo mengatakan  persoalan kemandirian pangan adalah prioritas dalam pembangunan ke depan.

Menurut HT, pembenahan pertanian harus menyeluruh.

1.Keberpihakan kepada petani. "Sebagai negara dengan pertumbuhan penduduk tinggi, ke depan kebutuhan pangan akan semakin tinggi, namun ini berbahaya jika profesi petani tidak lagi menjanjikan kesejahteraan, tentu efeknya petani akan semakin sedikit," jelasnya

2.Perluasan lahan pertanian. Hary seperti dikutip oleh Koran Sindo bercerita selama dalam perjalanannya keliling Indonesia, petani tidak memiliki lahan atau mengelola lahan orang lain.

3.Produktifitas petani harus ditingkatkan sebab produktifitas petani di Indonesia kalah jauh dengan negara lain seperti Jepang. "Dari sini saja kita sudah tertinggal, artinya petani kita sangat rugi, dengan lahan yang sama namun hasilnya berbeda," ucapnya.

4.memberikan petani keterampilan dan modernisasi teknologi pertanian untuk mendorong produktifitas.

5.Membuat lembaga keuangan khusus petani seperti bank khusus untuk petani sehingga persoalan permodalan di kalangan petani bisa diatasi.

6.Produk pertanian kita harus diproteksi. Karena petani tidak boleh dilepas begitu saja untuk menghadapi era pasar besar.

7.Mendorong hasil pertanian kita pada barang jadi, bukan terhenti pada bahan baku kemudian di ekspor, ini kata HT akan sangat merugikan karena tidak ada nilai tambah.

"Jika kita ingin menjadi negara maju, sektor pertanian harus dikelola dengan maksimal, singkatnya petani kita harus sejahtera,” kata HT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun