Tulisan ini muncul setelah Panitia Seleksi Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan 10 nama capim KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tanggal 3 September 2019. Sebagaimana sering muncul dari masyarakat, maka banyak pandangan yang meragukan kemampuan kesepuluh capim itu.
Hingga tanggal 4 September 2019 kesepuluh capim KPK itu masih menunggu proses selanjutnya hingga nanti ditetapkan lima orang pimpinan KPK untuk periode 2019-2023 karena pimpinan KPK sekarang akan segera berakhir masa jabatannya.
Tanggal 22 Mei 2019 juru bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan, dari 200 pendaftar, 9 orang dinyatakan lolos seleksi administrasi calon Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK. Namun hingga tanggal 4 September 2019 KPK belum memiliki Sekjen dan tetap dirangkap oleh salah seorang deputi. Artinya tanpa adanya jabatan itu sesungguhnya KPK tetap bisa berjalan. Lalu kenapa harus diadakan jabatan itu?
Tanggal 8 Juli 2019 Komisi XI DPR telah menetapkan 32 nama calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang lolos tahap awal atau adminstrasi. Nama-nama tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendapatkan pertimbangan dan rekomendasi. Adapun total yang mencalonkan diri sebagai anggota BPK 2019-2024 tersebut berjumlah 64 orang. Hingga tanggal 4 September 2019 calon anggota BPK itu masih dalam proses.
Di luar itu ada yang disebut proses Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) untuk mencari pejabat yang menduduki eselon satu dan dua di lingkungan Kementerian dan Lembaga Pemerintahan.
Apalagi kalau kita kaitkan dengan pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD dan kepala daerah, maka perhatian dan energi serta anggaran negeri ini sepertinya hanya berputar-putar di situ-situ saja.
Semua pencairan orang yang tepat itu menjadi salah satu topik yang menyita perhatian masyarakat Indonesia. Bukan saja perhatian dan pemikiran yang tersita untuk menentukan orang untuk menduduki jabatan, sudah pasti anggaran negara yang berasal dari rakyat juga pasti banyak yang terkuras.
Tapi apakah ada manfaatnya untuk rakyat kecil seperti para petani di Papua atau di Aceh, di Kalimantan dan Sulawesi? Mungkin tidak terlalu banyak. Beruntung rakyat kecil itu tidak tahu bahwa penampilan ekonomi negaranya tidak lebih bagus dari negara lain.
Ekspor Indonesia misalnya tetap saja di bawah Vietnam walaupun para pejabat yang bertanggung jawab sudah melalui proses panjang itu. Jumlah turis asing yang datang ke Thailand dan Malaysia tetap saja lebih tinggi walaupun mereka tidak punya Bali, Borobudur, atau Danau Toba padahal semua pejabat eselon satu dan duanya di Kementerian Pariwisata sudah melalui proses JPT itu.
Manusia Indonesia itu sesungguhnya mempunyai kelebihan di berbagai bidang. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia dari berbagai suku banyak yang cerdas. Presiden BJ Habibie yang berasal dari Sulawesi berhasil menjadi doktor penerbangan dari Jerman yang kemudian membawanya menjadi menteri dan presiden RI.
Tapi kecerdeasan ilmu pengetahuan bukan satu-satunya ukuran kehandalan manusia Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya mendapat gelar sarjana ekonomi namun mampu dua kali menjadi wakil presiden. Orang Papua juga menunjukkan sebagai manusia hebat. Freddy Numberi bukan saja mampu menjadi jenderal bintang tiga tapi juga mampu menjadi menteri di negeri ini.