Hari Senin, 17 Desember 2018 Prabowo dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat mengatakan "Karena itu kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah, negara ini bisa punah. Karena elite Indonesia selalu mengecewakan, selalu gagal menjalankan amanah dari rakyat Indonesia."Â
Pernyataan seperti itu biasa saja karena disampaikan kepada kader partainya, partai Gerindra. Tentu Prabowo harus bisa memilih kata-kata yang bisa menggelorakan semangat, apalagi dia tidak lagi sehebat tahun 2014 saat berpasangan dengan mantan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dengan dukungan lebih banyak partai politik yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Demokrat. Dalam pemilu 2014 itu pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mampu mendulang 62.576.444 suara atau 46,85% dan pasangan Jokowi-JK mendulang 70.997.833 suara atau 53.15%.Â
Pemilu tanggal 17 April 2019 secara logika akan lebih berat bagi pasangan Prabowo-Sandi karena sebagaimana kita ketahui bersama dua partai politik besar pendukung Prabowo dalam pemilu tahun 2014 telah berpindah menjadi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin yakni Golkar dan PPP. Untuk itu Prabowo Sandi harus pintar menggunakan kata dan upaya untuk dapat memenangi pemilu 2019 itu. Penyebutan bahwa Indonesia akan punah kalau dia tidak menang merupakan salah upaya untuk memenangi pemilu itu. Â
Persoalannya di era yang sangat terbuka dan ditandai dengan perkembangan teknologi dan informasi dan komunikasi yang luar biasa ini, pernyataan yang ditujukan kepada kalangan sendiri itu tidak dapat lagi dipagari hanya untuk mereka. Masyarakat Indonesia lainnya bisa mengikutinya.
Tapi sebagai masyarakat Indonesia yang cinta pada warganya, termasuk kepada Prabowo dan Jokowi, bagaimana kita menanggapi pernyataan Prabowo yang mengatakan bahwa jika dia tidak terpilih dalam pemilu 2019 maka Indonesia akan punah? Sebenarnya pernyataan itu merupakan pernyataan kepada par pendukungnya. Namun dapat juga kita jadikan sebagai upaya untuk berbuat lebih sungguh-sungguh agar kepunahan Indonesia itu tidak terjadi.
Baru saja Kepala Badan Statistik Indonesia Suhariyanto tanggal 15 Januari 2019 mengumumkan bahwa ekspor produk Indonesia sepanjang tahun 2018 menjadi US$ 180,06 miliar atau tumbuh 6,65%. Sementara tahun 2017, ekspor Indonesia hanya tercatat US$ 168,83 miliar. Indonesia tentunya patut bersyukur dengan peningkatan ekspor sebesar US$ 11,23 miliar atau sekitar Rp 157 triliun itu.
Walaupun ekspor produk Indonesia selalu meningkat, tapi Presiden Jokowi dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan tahun 2018 mengatakan bahwa nilai ekspor Indonesia itu masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Memang menurut data Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization tahun 2016 ekspor Indonesia mencapai AS$144.490 juta; di bawah Singapura (AS$ 329.773 juta), Malaysia (AS$189.414 juta) bahkan Vietnam (AS$ 176.785 juta).
Indonesia harus mencari upaya untuk meningkatkan ekspornya seperti penyediaan lahan untuk produk pertanian, penyederhanaan persyaratan seperti pencairan letter of credit yang cepat (di Singapura letter of credit satu hari bisa dicairkan sementara di Indonesia diperlukan waktu sebulan untuk bisa mencairkan letter of credit).
Dalam hubungan ekonomi ini, Indonesia tidak bisa berjalan sendirian tapi memerlukan negara lain. Ekspor nonmigas Desember 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$1,67 miliar, disusul Amerika Serikat US$1,48 miliar dan Jepang US$1,16 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 34,70 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$1,33 miliar.
Sementara itu Indonesia juga membutuhkan produk negara lain seperti mesin, komputer, alat elektronik, minyak, dan lain-lain. Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Desember 2018 ditempat oleh Tiongkok dengan nilai US$45,24 miliar (28,49 persen), Jepang US$17,94 miliar (11,30 persen), dan Thailand US$10,85 miliar (6,83 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 19,85 persen, sementara dari Uni Eropa 8,86 persen.
Pengumuman BPS itu menunjukkan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan kerjasama dengan negara lain sebagai pendukung Indonesia. Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang bisa hidup hanya dengan melakukan ekspor tanpa melakukan impor. Bahkan ketika tidak ada hubunganpun negara-negara di dunia ini harus saling membantu terutama yang bisa kita lihat saat terjadinya bencana alam seperti tsunami di Palu dan selat Sunda.