Pernyataan salah seorang anggota DPR RI yang mengkritik keberhasilan Pemerintah membeli saham PT Freeport hingga 51% menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kesepakatan atau hukum internasional.
Itu mengingatkan satu kelas strata dua di Amerika Serikat ketika sang guru besar menjelaskan bahwa perjanjian/kontrak yang dilakukan dengan negara-negara berkembang harus dihadapi dengan hati-hati.Â
Sang guru besar yang sudah menulis banyak buku literatur lebih rinci mengatakan di negara berkembang perjanjian atau kesepakatan yang sudah ditandatangani pada tingkat tinggi, seperti oleh presiden, raja, atau perdana menteri masih bisa berubah.
Karena negara-negara berkembang pada umumnya belum begitu paham tentang hukum internasional.
Para mahasiswa asal negara berkembang secara spontan memprotes pernyataan sang guru besar dengan mengatakan hal itu tidak benar. Namun sang guru besar menjelaskan berdasarkan kenyataan yang ada.Â
Untuk itu jika ingin menjadi pengacara atau penasehat hukum bagi perusahaan di negara maju harus memerhatikan sikap negara berkembang itu, dan sekaligus mengimbau para calon pemimpin di negara berkembang agar menghargai prinsip hukum internasional terutama kesepakatan yang telah dibuat para pemimpin sebelumnya.
Pesan yang sama tentu relevan dengan pernyataan salah satu anggota DPR kita yang kebetulan berlatar belakang artis itu, yang mengatakan pemerintah tidak perlu "membeli" saham Freeport karena itu milik Indonesia sendiri. Sikap seperti itu justeru membenarkan pernyataan sang guru besar tadi yang memang sangat mendalami hukum internasional dalam hidupnya.
Memang kesepakatan tentang Freeport tidak dilakukan saat ini saja. Salah seorang aset cendekia negeri kita yang berasal dari Aceh, Fahry Ali, menuliskan secara komprehensif dalam harian Kompas, 27 Desember 2018, "Sublimasi Teoritikal Divestasi Freeport" yang menjelaskan bahwa makna "pembelian" saham PT Freeport oleh pemerintah saat ini dengan harga yang mahal sehingga menjadi pemilik saham mayoritas, merupakan pencerminan "pemberontakan atas penjajahan kesadaran" atau kemenangan akal sehat melawan dominasi aktor global.Â
Pengambilalihan saham Freeport ini juga merupakan penyempurnaan terhadap pengambilalihan saham Inalum dari sebelas perusahaan Jepang tanggal 1 November 2013 yang juga menggelontorkan triliunan rupiah dana APBN. Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan Jepang ini sudah diadakan sejak pemerintahan Presiden Soeharto, bahkan sejak zaman Presiden Soekarno sesungguhnya sudah mulai dipikirkan.Â
Seandainya anggota DPR itu paham tentang pengambilalihan saham Inalum itu (kini proyek Asahan Inalum sudah 100% di tangan pemerintah Indonesia) tentu mungkin dia juga akan melakukan protes.
Lebih lanjut kita semua tidak boleh lupa bahwa perjanjian antara Pemerintah RI dan Freeport sudah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Kalaupun ada kekeliruan saat itu, tugas kita saat inilah untuk membenahinya. Namun tidak bisa serta merta mundur dari kesepakatan itu.