Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Freeport: DPR dan Pemerintah Perlu Lebih Cerdas

28 Desember 2018   07:59 Diperbarui: 28 Desember 2018   16:40 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernyataan salah seorang anggota DPR RI yang mengkritik keberhasilan Pemerintah membeli saham PT Freeport hingga 51% menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kesepakatan atau hukum internasional.

Itu mengingatkan satu kelas strata dua di Amerika Serikat ketika sang guru besar menjelaskan bahwa perjanjian/kontrak yang dilakukan dengan negara-negara berkembang harus dihadapi dengan hati-hati. 

Sang guru besar yang sudah menulis banyak buku literatur lebih rinci mengatakan di negara berkembang perjanjian atau kesepakatan yang sudah ditandatangani pada tingkat tinggi, seperti oleh presiden, raja, atau perdana menteri masih bisa berubah.

Karena negara-negara berkembang pada umumnya belum begitu paham tentang hukum internasional.

Para mahasiswa asal negara berkembang secara spontan memprotes pernyataan sang guru besar dengan mengatakan hal itu tidak benar. Namun sang guru besar menjelaskan berdasarkan kenyataan yang ada. 

Untuk itu jika ingin menjadi pengacara atau penasehat hukum bagi perusahaan di negara maju harus memerhatikan sikap negara berkembang itu, dan sekaligus mengimbau para calon pemimpin di negara berkembang agar menghargai prinsip hukum internasional terutama kesepakatan yang telah dibuat para pemimpin sebelumnya.

Pesan yang sama tentu relevan dengan pernyataan salah satu anggota DPR kita yang kebetulan berlatar belakang artis itu, yang mengatakan pemerintah tidak perlu "membeli" saham Freeport karena itu milik Indonesia sendiri. Sikap seperti itu justeru membenarkan pernyataan sang guru besar tadi yang memang sangat mendalami hukum internasional dalam hidupnya.

Memang kesepakatan tentang Freeport tidak dilakukan saat ini saja. Salah seorang aset cendekia negeri kita yang berasal dari Aceh, Fahry Ali, menuliskan secara komprehensif dalam harian Kompas, 27 Desember 2018, "Sublimasi Teoritikal Divestasi Freeport" yang menjelaskan bahwa makna "pembelian" saham PT Freeport oleh pemerintah saat ini dengan harga yang mahal sehingga menjadi pemilik saham mayoritas, merupakan pencerminan "pemberontakan atas penjajahan kesadaran" atau kemenangan akal sehat melawan dominasi aktor global. 

Pengambilalihan saham Freeport ini juga merupakan penyempurnaan terhadap pengambilalihan saham Inalum dari sebelas perusahaan Jepang tanggal 1 November 2013 yang juga menggelontorkan triliunan rupiah dana APBN. Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan Jepang ini sudah diadakan sejak pemerintahan Presiden Soeharto, bahkan sejak zaman Presiden Soekarno sesungguhnya sudah mulai dipikirkan. 

Seandainya anggota DPR itu paham tentang pengambilalihan saham Inalum itu (kini proyek Asahan Inalum sudah 100% di tangan pemerintah Indonesia) tentu mungkin dia juga akan melakukan protes.

Lebih lanjut kita semua tidak boleh lupa bahwa perjanjian antara Pemerintah RI dan Freeport sudah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Kalaupun ada kekeliruan saat itu, tugas kita saat inilah untuk membenahinya. Namun tidak bisa serta merta mundur dari kesepakatan itu.

Ini juga mengingatkan kita dengan pidato Bung Karno yang selalu diperdengarkan jika kita mengujungi Perpustakaan Nasional di Jl Merdeka Barat bahwa konsep persatuan Indonesia bisa berbahaya jika hanya melinat nasionalisme yang sempit yang bisa menimbulkan "chauvinism" seperti tersirat dari pernyataan anggota DPR yang berlatar belakang artis itu. 

Bung Karno mengingatkan bhwa Indonesia hanya sebagian kecil dari berbagai negara di dunia dan negara Indonesia itu harus menghormati negara-negara lain yang sudah ada di dunia. Untuk itulah Indonesia harus ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang merupakan doktor ekonomi dan diakui dunia sebagai menteri keuangan terbaik dunia tahun 2017 dan 2018 menanggapi pernyataan anggota DPR yang berlatarbelakang artis itu hanya dengan merendah dan mengatakan agar seperti nasihat ibunya semakin berhasil harus semakin merunduk seperti padi dan jangan semakin jumawa.

Kalaupun ada yang harus diperbaiki dalam sikap pemerintah terhadap PT Freeport ini adalah sikap pemerintah di zaman Presiden Soeharto yang tidak mampu melahirkan putra-putri terbaik Indonesia yang mampu mengolah kekayaan alam di Papua tanpa harus menyerahkannya kepada pihak asing dalam hal ini Freeport dari AS. 

Dengan kata lain pemerintah dan anggota DPR juga perlu lebih cerdas. Walaupun berlatar belakang artis tapi harus tetap mau mengembangkan pengetahuan termasuk dalam hukum internasional agar tidak dianggap hanya mampu melontarkan pernyataan yang seolah-olah berpihak pada rakyat namun sesungguhnya hal itu tidak mungkin diterapkan.

Setelah pemerintah Indonesia memegang 51% saham Freeport, sudah saatnya Indonesia mengelola hasil perusahaan dengan lebih baik dan bijaksana. Selama ini batu-batuan dari pegunungan dihancurkan dan dihaluskan kemudian yang butir-butir yang bernilai ekonomi langsung dialirkan melalui pipa baja ke kapal-kapal tanker yang sudah menunggu di pelabuhan, dan selanjutnya dikirim ke luara negeri, dan di luar negerilah butiran-butiran tersebut diolah menjadi tembaga, emas, perak, dan lain-lain. Kalau bisa pemerintah harus melatih putra-putrinya untuk bisa mengolah butiran-butiran tersebut untuk meningkatkan nilai tambah untuk masyarakat. Pembuangan butiran-butiran yang tidak bernilai ekonomis juga harus dikelola dengan lebih baik agar tidak merusak lingkungan. 

Terowongan yang sudah mencapai ratusan kilo meter sebagai akibat hasil penggalian bahan tambang oleh Freeport perlu dipertimbangkan untuk menjadi jalan tol di Papua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun