Hal lain yang sering mengemuka bahwa uang tersebut tidak semuanya dinikmati secara pribadi, tapi digunakan untuk pentingan organisasi atau partai.
Para mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dulu sangat keras menentang korupsi, kini sepertinya semakin "mata rasa" karena banyaknya kasus korupsi.Â
Kalau ini tidak segera diatasi, maka akan bermunculan para koruptor baru dan masyaratpun semakin hari semakin menganggap korupsi sebagai hal biasa atau setidaknya menjadi tindak pidana ringan. Itu tentu sangat berbahaya dan memalukan.
Kitapun tentu tidak mau kembali pada sistem Orde Baru yakni korupsi dapat dilakukan asal dilakukan dengan baik dan tidak ketahuan, misalnya sebanyak mungkin orang kebagian. Tidak! Justeru itu yang diperangi gerakan reformasi yang memaksa Presiden Soeharto meninggalkan pemerintahan dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie.
Apa yang bisa kita lakukan? Semua pihak harus duduk bersam untuk memikirkan negeara ini. KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pegawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), semua Menteri, Pimpinan TNI dan Kepolisian, pimpinan partai politik, dan pihak terkait lainnya harus duduk bersama yang dipimpin oleh Presiden untuk membahas langkah kongkrit mencegah terjadinya korupsi, terutama oleh para kepala daerah.
Salah satu jalan keluar yang masuk akal adalah penyediaan anggaran negara untuk mendukung kepala daerah yang diserahkan kepada partai politik. Dengan cara itu kepala daerah tidak perlu lagi repot-repot mencari upaya untuk mengumpulkan uang guna "mengucapkan terima kasih" kepada parpol yang mendukungnya untuk menjadi kepala daerah. Namun mengenai jumlah dan caranya harus disepakati oleh semua pihak.
Semoga suara rakyat ini didengarkan oleh para penguasa negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H