Ilustrasi penjara (Kompas/The Guardian).
Salah satu kenyataan menyedihkan yang tidak mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari seluruh pemangku kepentingan bangsa Indonesia ini tentang penjara atau lemabaga pemasyarakatan di Indonesia. Semua orang tahu bahwa keadaan penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi.
Dr. Baharuddin Lopa (lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Hindia Belanda, 27 Agustus1935) ketika menjabat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM suatu saat merasa terkejut ketika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menagih laporan pelaksanaan sistem lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Lopa mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara merdeka. Setelah diyakinkan bahwa walaupun Indonesia negara merdeka namun sebagai anggota PBB berkewajiban untuk menyampaikan laporan berkala tentang pelaksanaan penghukuman di suatu negara untuk mencegah terjadinya penghukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Akhirnya Lopa menjadikan laporan itu sebagai prioritas dan sejak itu Pemerintah Indonesia selalu menyampaikan laporan berkala kepada PBB.
Jangan Bangga Memenjarakan Rakyat Sendiri
Mencegah orang melakukan kejahatan yang membuat orang masuk penjara memang merupakan hal yang ideal. Namun ada saja kejadian yang membuat orang akhirnya masuk penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Seperti Gubernur Ahok karena penistaan agama, Ketua DPR Setya Novanto karena korupsi, yang lain karena narkoba, pembunuhan, pencurian, penipuan, pencemaran nama baik, dan lain-lain.
Hanya untuk menyebut beberapa saja, kita tidak perlu menyebut Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang yang semua orang sudah tahu sangat melebihi kapasitas. Kita lihat saja Lapas Kelas II A Cibinong yang daya tampungnya 930 orang; tapi ada bulan Juni 2018, tercatat narapidana dan tahanan yang ada di lapas tersebut 1.567 orang.
LP Lowokwaru Malang yang memiliki 22 blok dengan jumlah 211 kamar, dengan kapasitas 936 orang tapi pada Juni 2018, narapidana dan tahanan yang ada di lapas ini berjumlah 2.801 orang.
Lapas Kelas I Surabaya memiliki daya tampung 1.038 orang namun pada bulan Juli 2018, jumlah terpidana dan tahanan yang menghuni lapas itu berjumlah 2.498 orang.
Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta di Jatinegara, Jakarta, yang berfungsi sebagai rumah tahanan untuk terpidana narkotika memiliki kapasitas 1.084 orang, namun pada bulan Juli 2018, jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni Lapas tersebut mencapai 2.919 orang.
Tentu saja tidak adil kalau membiarkan para pelaku kejahatan hidup bebas tanpa dihukum. Namun bagi bangsa Indonesia yang "terjajah" dan ini sesungguhnya sama saja dengan "terpenjara" selama ratusan tahun, perlu memikirkan sistem pemenjaraan atau pembinaan ala Indonesia.
Pertama seluruh pihak harus mencegah orang melakukan kejahatan sehingga tidak perlu masuk penjara. Lebih baik mencegah orang masuk lapas dari pada berupaya memberikan perlakuan khusus kepada narapidana seperti yang terjadi di lapas Sukamiskin, Bandung baru-baru ini.
Sebagai perbandingan kecil, konon pernah suatu saat petinggi Indonesia mengunjungi sebuah penjara di Eropa dan mereka terkagum-kagum. Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung Indonesia mengunjungi sebuah penjara di kota Oslo, Norwegia. Waktu mereka masuk, setiap pintu masuk terdiri dari pintu kokoh dari besi persegi empat yang terkunci secara otomatis kalau sudah berada di dalam. Sekitar empat pintu yang harus dilalui barulah tiba di dalam lapas tersebut. Di dalam lapas itu ada dapur, makanan dan minuman berkulkas, ada pisau untuk memotong daging dan buah, peralatan masak serta perpustakaan pribadi. Seorang pejabat Indonesia bergumam bahwa kalau di Indonesia itu bukan lapas, tapi hotel berbintang empat.
Petugas penjara Norwegia itu menjelaskan bahwa belum pernah ada orang yang melarikan diri dari penjara itu. Apa saja kegiatan mereka selama di penjara? Istilah mereka untuk lapas tetap saja "penjara" tidak perlu diperhalus menjadi "lapas." Tapi perlakuan mereka terhadap orang yang ada di dalam penjara yang berbeda. Para narapidana biasanya dilatih untuk bisa bekerja. Misalnya pakaian seragam petugas penjara dijahit oleh para narapidana, dan mereka mendapatkan gaji sama seperti tukang jahit di luar. Gajinya nanti akan diberikan saat mereka sudah selesai menjalani hukuman mereka.
Petugas lapas kita melihatnya dari pandangan yang sudah terlalu lama dijajah. Katanya dengan sistem yang buruk sekarangpun orang masih banyak yang masuk penjara (melebihi kapasitas), apalagi dibuat nyaman. Namun pandangan itu sebenarnya mencerminkan pandangan orang yang sudah terlalu lama dijajah.
Itu ibaratnya orang yang tidak punya apa-apa tidak berani memulai bisnis besar karena merasa tidak punya modal. Pada hal para pedagang sukses sering dimulai dari tidak punya apa-apa dulu hingga menjadi pengusaha besar.
Cara pandang harus diubah yakni lapas yang baik pun bisa membuat orang menjadi orang yang lebih baik, dan lapas yang buruk dengan fasilitas minim bisa membuat orang lebih buruk atau belum tentu bisa membuat orang lebih baik.
Sampai kapan lapas di Indonesia dibiarkan seperti sekarang? Pertanyaan ini bukan hanya untuk pemerintah tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Seluruh masyarakat harus dengan sungguh-sungguh menghindarkan diri dari kemungkinan masuk lapas. Antara lain jangan cepat marah dan berkelahi atau melukai orang lain yang bisa membuat orang masuk lapas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H