Akibat tsunami yang dahsyat di Palu, Jumat, 28 September 2018 (dok.pribadi).
Hari Jumat, 28 September 2018 berita di media sosial meneruskan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofiksa (BMKG) bahwa pukul 17,02, 44 telah terjadi gempa dengan 7,7 SR di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah dengan kedalaman 10 km. Walaupun gempanya cukup besar, namun saat itu kita berharap agar tidak terjadi korban besar.
Namun hingga tanggal 1 Oktober 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan korban tewas telah lebih dari 800 orang dan masih banyak yang belum ditemukan. Â
Kejadian ini mengingatkan kisah gempa dengan kekuatan 9 SR dan tsunami setinggi 11 meter yang terjadi di Tohoku, Miyagi, Jepang tanggal 11 Maret 2011 yang menyebabkan korban tewas 15.269 orang. Peristiwa itu dirasakan termasuk di kota Tokyo, Jepang.
Mengapa perlu dikaitkan dengan gempa dan tsunami di Palu tahun 2018 ini? Sudah banyak yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia yang berjumlah 263 juta itu sesungguhnya secara alami hidup di daerah yang rawan gempa. Oleh karena itu masyarakat perlu menyiapkan diri sebaik mungkin jika terjadi gempa atau tsunami.
Tahun 2011 tiga mahasiswa Indonesia yang belum lama diterima di universitas Jepang di Tokyo, dan sebagaimana biasanya para murid dan mahasiswa sangat hormat kepada guru dan dosennya di Jepang.
Beberapa hari setelah tsunami, tiga orang mahasiswa Indonesia itu mengingat profesornya yang tidak bisa keluar apartemen dan tidak ada makanan. Dengan niat membantu, ketiga mahasiswa itu mengambil makanan dan minuman dari sebuah toko/supermarket yang terbuka dan tidak ada penjaganya.
Ketiga mahasiswa itu dengan senang lalu pergi ke apartemen sang profesor dengan harapan profesor itu akan senang menerima bantuan dimaksud.
"Dari mana kalian mendapatkan ini?" tanya sang profesor. Ketiga mahasiswa Indonesia itu menjelaskan bahwa mereka mengambilnya dari sebuah toko yang terbuka dan tidak ada penjaganya.
"Apakah ada pemberitahuan bahwa kalian diizinkan untuk mengambilnya?" tanya sang profesor. Para mahasiswa itu mengatakan tidak ada, namun karena ini situasi darurat dan tokonya terbuka maka mereka anggap wajar untuk mengambil makanan dan minuman seadanya untuk membantu orang lain.
"Kembalikan!" kata profesor Jepang yang kelaparan itu berang. Ketiga mahasiswa Indonesia terkaget-kaget luar biasa karena di Indonesia hal seperti itu wajar dilakukan. Sambil menggerutu ketiga mahasiswa itu mengembalikan barang-barang yang diambil dari toko itu.
Sehari kemudian ketiga mahasiwa Indonesia itu melihat tanda yang bertuliskan "Sehubungan dengan bencana tsunami di Tohoku, silakan ambil dengan cuma-cuma barang yang ada di dalam toko ini."
Karena takut dengan pengalaman pertama dulu, ketiga mahsiswa itu tidak berani untuk langsung mengambilnya, dan mereka pergi terlebih dulu ke apartemen sang profesor dan memberitahukan bahwa ada tanda untuk boleh mengambil barang-barang yang ada di toko itu sehubungan dengan terjadinya tsunami.
Sang profesor mengatakan, "Nah, kalau itu boleh diambil karena sudah ada pemberitahuan. Silakan ambil secukupnya untuk kita karena orang lain pasti banyak yang membutuhkan."
Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua yang rawan gempa ini. Sebagai orang beragama, sekalipun terjadi gempa dan tsunami kita tidak boleh melakukan penjarahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H