Kini pemerintahan di bawah Presiden Jokowi sudah berbeda; tidak akan terpengaruh dengan apapun yang akan digunakan pihak PT Freeport. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan juga sudah menunjukkan bahwa dia tidak bisa dipengaruhi atau “dibeli” dengan berbagai fasilitas. Upaya “papa minta saham” yang sempat melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan pada akhirnya mementalkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said tahun 2016, nampaknya tidakmembuahkan hasil.
Apakah ada jalan keluarnya? Pihak PT Freeport harus memahami bahwa pemerintahan sekarang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Semangat anti korupsi dan keberpihakan pada rakyat bukan lagi sekadar janji manis dalam kampanye.
Tentu di sisi lain pemerintah yang sudah anti korupsi dan berpihak pada rakyat ini juga tidak boleh menendang PT Freeport keluar Indonesia dan mengambil alih perusahaan itu seperti lazim terjadi di berbagai negara di masa lalu dengan istilah melakukan nasionalisasi.
PT Freeport harus mengubah sikap dan pandangannya. Kalau hanya mementingkan keuntungan, maka sesungguhnya perusahaan itu benar-benar tidak peduli dengan kehidupan masayarakat walaupun dengan lantang menyerukan bahwa dia mempunyai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility (CSR)).
Kasus ini bisa saja dibawa ke jalur hukum dan PT Freeport menang, namun sejarah akan mencatat bahwa perusahaan-perusahaan besar itu hanya ingin mencari keuntungan. PT Freeport sesungguhnya sadar bahwa pemberian sistem Kontrak Karya dilakukan di zaman pemerintah yang belum bersih. Kini setelah pemerintahnya bersih, seharusnya PT Freeport dapat mendukungnya dan itu berarti PT Freeport turut memberikan sumbangan berarti untuk kemajuan Indonesia, bukan sekadar mengeksploitasi alam Papua dari atas, tengah dan bawah.
Tidak perlulah menjadi akuntan atau ahli ekonomi untuk mengetahui bahwa selama ini keuntungan yang dinikmati PT Freeport sudah sangat besar dibandingkan dengan biaya yang pernah dikeluarkan untuk memulai pertambangan di provinsi yang masih memerlukan pembangunan tersebut.
Tahun 2000 mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger, datang ke Indonesia menemui Presiden RI K H Abdurrahman Wahid agar Indonesia menghormati Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport yang dibuat pada era Presiden Soeharto. Konon Presiden Gus Dur menolak permintaan PT Freeport melalui Henry Kissinger tersebut. Sayangnya Gus Dur dilengserkan dan di era berikutnya disebutkan bahwa permintaan PT Freeport itu akhirnya dikabulkan.
Tanggal 21 Februari 2017 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan permasalahan PT Freeport Indonesia kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut tidak mampu memenuhi keinginan Pemerintah RI yang menghendaki agar Freeport mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sehingga hasilnya akan lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun PT Freeport Indonesia tidak setuju dengan saran Pemeirntah Indonesia tersebut, dan akan menempuh jalur arbitrase jika negosiasi dengan pemerintah tidak menemukan titik temu.
Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C. Adkerson mengatakan bahwa Freeport tetap ingin bekerjasama dengan pemerintah, dan pemerintah Indonesia telah menerbitkan reko‎mendasi izin ekspor konsentrat kepada Freeport Indonesia. Namun PT Freeport tidak dapat menerima keputusan tersebut karena perubahan status yang dijadikan syarat pemerintah agar Freeport bisa mengekspor konsentrat. Freeport telah melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyatakan tidak dapat menerima perubahan status KK dengan IUPK tersebut.
Pemerintah memberikan hak yang sama di dalam IUPK dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan.
Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku. Dikatakan Jonan, PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor pada 17 Februari 2017. Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut. Menteri Jonan berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi.