PT Freeport: Kini Indonesia Sudah Berbeda, Pakailah Pendekatan Yang Berbeda!
Presiden Jokowi sudah bersikap tepat dan tegas kepada PT Freeport. Carut marut masalah PT Freeport Indonesia sesungguhnya bukan masalah baru, itu adalah cerminan praktik yang lazim di masa lalu. Persoalan inti adalah Indonesia “belum cerdas” saat memulai proyek itu.
Namun bukan hanya PT Freeport sesungguhnya tapi juga proyek lain di zaman itu seperti proyek Asahan atau PT Inalum di Sumatra Utara yang walaupun sekarang sudah tuntas diselesaikan setelah negara membayar sekitar enam triliun rupiah tahun 2014 kepada perusahaan Jepang agar bisa dimiliki pemerintah RI seperti sekarang ini.
Saat itu proyek itu diadakan, rakyat Indonesia belum cerdas sehingga proyek yang ada saat itu belum terlalu memikirkan kepentingan rakyat. Proyek Asahan dimulai tanggal 7 Juli 1975 saat ditandatanganinya Perjanjian Induk (Main Agreement) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan yang kemudian dikenal dengan sebutan Proyek Asahan di di Tokyo oleh Pemerintah RI dan dan 12 Perusahaan Penanam Modal Jepang Kedua belas Perusahaan Penanam Modal  Jepang tersebut adalah 1. Sumitomo Chemical company Ltd., 2. Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., 3. Nippon Light Metal Company Ltd., 4. C Itoh & Co., Ltd., 5. Nissho Iwai Co., Ltd., 6. Nichimen Co., Ltd., 7. Showa Denko K.K., 8. Marubeni Corporation, 9. Mitsubishi Chemical IndustriesLtd., 10. Mitsubishi Corporation, 11. Mitsui Aluminium Co., Ltd., dan 12. Mitsui & Co., Ltd.
Perjanjian in berlaku selama 30 tahun, namun karena rakyat Indonesia “belum cerdas” maka pengakhiran Perjanjian itu tidak jelas atau sengaja dibuat tidak jelas karena yakin pemerintah Indonesia akan berada pada posisi lemah. Akibatnya Pemerintah Indonesia harus membayar sekitar sekitar enam triliun rupiah tahun 2014 kepada ke-12 perusahaan Jepang itu agar proyek itu bisa dimiliki pemerintah RI seperti sekarang ini.
Seandainya saat memulai proyek dibuat dengan tegas bahwa setelah 30 tahun, maka proyek itu menjadi milik pemerintah RI tanpa membayar apa-apa maka pemerintah RI dapat menggunakan uang yang enam triliun untuk membantu rakyat Indonesia. Tapi harus diakui bahwa saat itu sistemnya belum sebaik dan seterbuka sekarang. Konon Wapres Jusuf Kalla beperan penting untuk mengurangi dampak negatif proyek Asahan bagi masyarakat.
Demikian juga halnya dengan PT Freeport di kabupaten Mimika, provinsi Papua saat disepakatinya Perjanjian dengan sistem Kontrak Karya (KK) tanggal 7 April 1967.
Setelah era reformasi rakyat Indonesia makin cerdas dan mengetahui bahwa banyak proyek itu seharusnya bias dibuat lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Di zaman Orde Baru, rakyat hanya boleh menganggap bahwa PT Freeport menghasilkan tembaga; jika ada yang mengatakan bahwa perusahaan ternyata mengambil emas juga, maka orang itu akan dianggap bodoh. Namun dengan kemajuan yang dialami putra-putri Indonesia yang bekerja di perusahan besar itu, ketahuanlah bahwa memang PT Freeport bukan hanya menghasilkan tembaga, tapi juga emas dan logam berharga lainnya.
Bagi perusahaan yang terpenting adalah menghasilkan untung sebesar-besarnya. Tidak masalah baginya membenturkan kepentingannya hingga tingkat kepala negara atau pemerintahan. Di masa lalu Freeport akan meinta bantuan pemrintah AS untuk mendekati pemerintah RI seperti yang dilakukan oleh ex Menlu Henry Kissinger.
Sekarang pemerintahannya sudah berbeda. Jokowi adalah presiden yang peduli dan teguh dan pada pendiriannya. Menteri ESDM
AS dengan presiden Donald Trump belum tentu mengambil sikap seperti sebelumnya. Tentu jalan keluarnya adalah melalui jalur hukum, di mana nanti akan disebutkan bahwa pemerintah RI tidak membatalkan kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya.Â