Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mayor Memang BelumPantas Jadi Gubernur….

23 September 2016   19:18 Diperbarui: 24 September 2016   04:36 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaget mengetahui berita bahwa SBY mengajukan putranya sendiri menjadi calon gubernur DKI. Mayor Agus Harimurti Yudhoyono. Dia dipasangkan dengan Sylviana Murni yang adalah salah satu deputi Ahok. PDIP resmi mengumumkan pencalonan Ahok-Djarot pada Selasa malam 20 September 2016 dan mendaftarkan diri tanggal 21 September 2016.

Yang akan disoroti di sini hanya sosok Mayor Agus Harimurti Yudhoyono. Pertama masyarakat kaget bahwa dia masih berpangkat mayor padahal ayahnya dulu menjabat presiden. Mungkinkah ada kekecewaan di hati orangtuanya yang berharap bahwa putranya diperhatikan tanpa ada permintaan? Di masa lalu kalau sudah dekat presiden bukan saja pangkatnya cepat melejit tapi sikapnya terhadap seniornya juga bisa terlihat. 

Tapi biasanya untuk menjadi gubernur DKI dalam beberapa tahun terakhir ini setidaknya berpangkat mayor jenderal bahkan ada yang letnan jenderal seperti Sutiyoso, Soerjadi Soedirdja, Wiyogo Atmodarminto, Tjokoropanolo, dll. Tiba-tiba Mayor Agus muncul. 

Setidaknya di kalangan TNI hal ini menjadi pertanyaan. Sudah pantaskah mayor menjadi calon gubernur? Tentu saja ada yang berpendapat pangkat tidak menjadi masalah. Namun dari segi kematangan atau kedewasaan, terlihat bahwa Agus belum pantas. Bahwa dicalonkan bukan karena keinginannya sendiri semata, tapi lebih karena keinginan orangtuanya. 

Ini menunjukan ketidakdewasaan. Orang dewasa seharusnya sudah mampu menolak keinginan orang tua, tanpa harus membenci orang tua. Dalam kasus keluarga sering sekali terjadi perceraian karena suami atau isteri belum mampu “menolak”keinginan orang tua. Akibatnya saran orang tua untuk menceraikan pasangannya didengar dan terjadilah perceraian. 

Seseorang yang hendak menikah harus sanggup untuk mengambil sikap dewasa yang tidak mengikuti nasehat orang tuanya. Tentu tidak semua naehat orang tua buruk, kalau baik sudah pastilah patut dipertimbangkan. Namun yang mengambil keputusan harus diri sendiri. Itulah tanda bahwa seseorang sudah dewasa; bukan anak mami atau anak papa lagi.

Jika Mayor Agus belum mampu mengatakan “tidak” pada permintaan atau keinginan rang tua, maka sesungguhnya dia belum dewasa untuk menjadi pemimpin, apalagi gubernur DKI bukan jabatan coba-coba atau ringan. Ada sekitar 30 juta jiwa yang hidup di wilayah itu. Kalau sebagai gubernur nanti selalu mendengar saran orang tua, kenapa tidak orangtuanya saja yang jadi gubernur? Untuk TNI mungkin setelah kolonel pun baru layak untuk menjadi bupati, belum untuk jadi gubernur.

Ahok misalnya sempat diminta ibunya sendiri agar bisa bekerjasama dengan DPRD DKI saat isu pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) pada APBD-P DKI 2014 yang mencapai triliunan rupiah muncul. Namun Ahok dengan tetap menyayangi ibunya menolak permintaan itu karena dia beranggapan sangat tidak pantas menikmati uang rakyat triliunan rupiah padahal nasib warga Jakarta masih banyak yang membutuhkan.

Memang mayor belum pantas menjadi gubernur!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun