Pertama-tama harus diakui bahwa Anas Urbaningrum merupakan salah satu tokoh reformasi yang memberi harapan bagi masyarakat. Anak desa Ngaglik, Srengat, Blitar, Jawa Timur itu sudah dikenal cerdas sejak muda. Dia masuk FISIP Unair tahun 1987 karena pintar di SMA sehingga lolos program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan lulus tahun 1992.
Kemudian dia melanjutkan studi ke S-2 di UI dan tahun 1997 hingga 1999 menjadi Ketua Umum HMI. Tahun 1998 Anas Urbaningrum sering muncul di media karena merupakan anggota Revisi UU Politik. Tahun 1999 Anas menjadi anggota Tim Seleksi Parpol yang memverifikasi parpol yang ikut pemilu. Tahun 2000 lulus S-2 dari UI. Lalu tahun 2001-2005 menjadi anggota KPU. Karena kisruh di KPU, Anas mengundurkan diri dan tidak lama kemudian bergabung dengan Partai Demokrat tahun 2005.
Anas Masuk Kekuasaan
Tahun 2009 Anas terpilih menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat mewakili Blitar. Tanggal 23 Juli 2010 Anas Urbaningrum makin cemerlang lagi dengan terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Namun saat prahara menimpa Partai Demokrat yang dimulai dengan tertangkapnya bendahara partai Muhammad Nazaruddin, perlahan kecemerlangan politik Anas Urbaningrum mulai meredup. Tanggal 22 Februari 2013 Anas mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Demokrat akibat tuduhan Nazarudin bahwa dia dan Andi Mallarangeng terlibat dalam korupsi Hambalang.
Setelah melalui proses panjang dan mendalam, serta sangat hati-hati, maka pada tanggal 10 Januari 2014 KPK akhirnya menahan Anas Urbaningrum. Penahanan Anas Urbaningrum merupakan kiprah tersendiri bagi KPK karena beberapa hari sebelumnya Anas menolak panggilan KPK. Sikap KPK yang menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang sudah merupakan kejutan bagi masyarakat. Demikian juga dengan penahanan ini.
Ada Apa Dengan Ibas?
Namun tidak sedikit yang mempertanyakan Ibas atau Edhie Baskoro sang putra SBY kapan? Pertanyaan itu tidak mungkin lepas dari sikap SBY sendiri. Tapi kalau melihat kenyataan, ada sikap positif SBY yang kurang kelihatan akibat sorotan terhadap kinerjanya yang dianggap kurang. Sikap yang mana dan mengapa perlu menjadi perhatian?
Di zaman keterbukaan ini, media dan publik sudah mengungkap secara terang-terangan bahwa Ibas menerima uang dari Yulianis. Di harian Tempo edisi 16 Maret 2013 dan dalam Kompasiana Yulianis memang ada catatan pengeluaran untuk Andi Mallarangeng dan Ibas masing-masing sebesar Rp 1,8 miliar. Bahwa Ibas menyangkalnya sama juga halnya dengan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum. Tapi yang lebih penting sikap SBY sendiri?
Inilah yang luput dari pengamatan masyarakat. Seandainya Ibas benar bersalah, nampaknya SBY akan menerima segala akibatnya. Mungkin sebagai ayah, SBY hanya akan mencoba menyiapkan upaya agar Ibas benar-benar menjalani proses hukum secara adil. Apa dasar pandangan ini?
Sikap Unik SBY
Pertama, sikap SBY ketika besannya Aulia Pohan diproses KPK yang akhirnya membuatnya mendekam di penjara. Sikap SBY yang tidak mencoba mencegah atau mengurangi hukuman besannya itu seharusnya menjadi catatan tersendiri.
Bagi orang Batak, Aulia Pohan merupakan hula-hula yakni orang yang paling dihormati oleh keluarga SBY karena putrinya dipersunting keluarga SBY. Sederhananya, bagi keluarga SBY Aulia Pohan harus lebih dihomati dari pada anak atau menantu sendiri. Kalau SBY sudah menyadari itu dan tetap membiarkan proses hukum berjalan dengan apa adanya, walaupun punya kesempatan sebagai presiden, maka itu yang perlu mendapat catatan. Artinya SBY tidak akan ragu membiarkan proses hukum terjadi pada Ibas, seandainya memang demikian, karena besannya pun sudah pernah mengalami dan SBY tidak mencampurinya.
Kedua, sikap SBY menyiapkan penasehat hukum keluarga. Itu menunjukkan kesiapan SBY menghadapi proses hukum yang mungkin menimpa keluarganya. Jadi seandainya KPK memproses Ibas karena ada kaitan dengan kasus korupsi, SBY kemungkinan besar tidak akan mencampurinya, bahkan dapat diduga akan menerima apa pun dampak atau konsekuensinya. Dua hal itu yang agak terlupakan oleh masyarakat.
Apakah seharusnya masyarakat gembira dengan sikap positif SBY itu? Di situlah sebenarnya perlunya sikap kritis masyarakat. SBY ingin menunjukkan bahwa dia dan keluarga sama saja dengan warga lainnya di depan hukum. Walaupun sebagai presiden, SBY punya peluang besar untuk mencegahnya. Namun itu tidak dilakukannya. Masyarakat seharusnya bertanya apakah ini sudah saatnya seperti itu?
Bagaimana Masyarakat Menanggapinya?
Pertanyaan itu mucul karena di masyarakat kita belum semua bersikap seperti SBY. Lihat saja contoh sederhana anak Ahmad Dhani yang mengemudi kendaraan dengan melanggar hukum karena masih berusia di bawah 17 tahun dan menyebabkan korban meninggal dunia, hingga saat ini tidak diproses secara hukum. Padahal siapa Ahmad Dhani? Mungkin dia hanya dari segi uang dan seni saja lebih baik dari pada SBY. Seharusnya masyarakat jauh lebih patuh hukum dari penguasa.
Menarik untuk mengikuti kasus-kasus seperti ini, termasuk setelah SBY tidak lagi presiden tahun 2014 ini. Apakah penggantinya nanti mau meneruskan sikap kesamaan di depan hukum tadi?
Masyarakat seharusnya berharap bukan SBY saja yang menunjukkan siap menerima proses hukum terhadap diri dan keluarganya, tapi seluruh 240 juta masyarakat Indonesia juga melakukan hal yang sama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H