Walaupun kita masih merasa kecewa dengan masih terjadinya praktek korupsi di Indonesia, tapi sejujurnya harus kita akui terdapat kemajuan yang cukup menggembirakan dalam upaya membersihkan Indonesia dari kecurangan itu. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan bulan Oktober 2014 bahwa dulu menteri tidak mungkin disentuh kalau dianggap melakukan korupsi tapi sekarang ada tiga menteri yang sudah ditahan dan diadili karena melakukan korupsi. Hal seperti itu tidak mungkin terjadi di masa lalu ketika korupsi masih marak. Bahkan wakil presiden Budiono pun telah bersaksi di pengadilan korupsi. Namun harus diakui bahwa kemajuan yang seharusnya membuat masyarakat lebih sejahtera dan lebih baik menjadi lebih lambat karena adanya korupsi itu. Pembangunan fasilitas umum yang diperlukan masyarakat menjadi terganggu. Kita lihat saja misalnya apa yang dilakukan pejabat Daerah Khusus Ibukota Udar Pristono yang tega membeli bis untuk trans-Jakarta yang lebih murah dan berkarat agar bisa mendapat uang korupsi yang digunakannya untuk membeli rumah dan apartemen mewah yang dipakai wanita muda. Udar Pristono sudah kaya tapi masih ingin lebih kaya lagi dan sayangnya dia menyalahgunakan uang rakyat. Seandainya rakyat miskin di kota Jakarta mengerti, maka mereka bisa berteriak dengan keras, "Udar, kamu penghianat rakyat! Kamu tega-teaganya membiarkan kami menderita demi apartemen mewah yang dipakai artis muda padahal seharusnya sebagai pejabat, kamu harus menggunakan uang rakyat untuk membantu kami." Para pengemis di pinggir jalan juga bisa menjerit kepada guru besar ITB Prof. Dr. Rudi Rubiandini (lahir di Tasikmalaya, 9 Februari 1962), mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas), yang menerima gratifikasi senilai $700 ribu atau sekitar Rp 7 milyar, "Rudi, bagikan tujuh miliar itu kepada kami agar tidak perlu mengemis lagi." Lulusan ITB tahun 1985 dalam usia 23 tahun dan mendapat gelar doktor dari Jerman tahun 1991 itu mungkin akan tergugah jika bisa mendengar jeritan rakyat miskin itu. Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Prof. Dr. Rudi Rubiandini yang dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi Rp 7 milyar. (Sumber: TEMPO/Imam Sukamto) Buruh cuci dan pedagang bakso di pinggir jalan wajar marah seandainya mengerti perbuatan para  pelaku korupsi yang sudah kaya raya tapi tetap saja ingin menikmati jerih payah rakyat Indonesia atau yang seharusnya dipakai untuk membantu memperbaiki nasib mereka. Koruptor Muhammad Nazaruddin, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini menjadi tahanan KPK yang terus berkicau, dulu mengatakan Anas Urbaningrum ikut terlibat korupsi. Namun masyarakat tidak percaya karena dia sudah dicap tidak bisa dipercaya. Tapi akhirnya Anas kini sudah ditahan. Nazaruddin juga menyebut anggota DPR Angelina Sondakh ikut melakukan korupsi, tapi masyarakat tidak percaya. Tapi akhirnya Angelina mendekam di penjara karena terbukti mengambil uang rakyat. Tentu para supir dan kondektur bis kota bisa berteriak bahwa Angelina Sondakh ikut membuat hidup mereka susah, jika mereka bisa memahaminya. Para pedagang kecil di pasar kumuh juga marah seandainya bisa memahami tindakan Menpora Andi Mallarangeng yang disebut Nazaruddin melakukan korupsi tapi Andi meyakinkan masyarakat bahwa itu semua kebohongan Nazaruddin. Untunglah KPK tetap bertindak jernih; walaupun harus menghadapi seorang menteri tapi akhirnya Andi diminta merenungkan perbuatannya yang melukai hati para pedagang kecil di pasar kumuh itu di sebuah tempat tertutup. Bulan Oktober 2014 Nazaruddin kembali menyebut Ibas atau Edhi Baskoro yang putra mantan Presiden SBY juga terlibat korupsi, tapi masyarakat kembali sepertinya menganggap itu hanya kebohongan Nazaruddin. Walaupun Ketua KPK mengatakan siapa pun saat ini tidak ada lagi yang kebal hukum di Indonesia. Dengan segala kecurangan yang memperlambat kemajuan Indonesia itu, menurut KPK, ada sebenarnya orang Indonesia yang bisa dijadikan panutan. Ir. Haji Djuanda adalah contoh sosok yang memegang teguh integritas dan idealisme ketika terjun ke politik dan pemerintahan. Dia memilih berpihak pada kepentingan rakyat dalam setiap perjuangannya. Setelah lulus dari Technische Hogeschool (1933), dia mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji yang lebih besar. Djuanda seorang pegawai negeri yang patut diteladani karena tidak mau korupsi walau peluang itu ada. Dia hanya mau menjadi pegawai negeri sebagai pengabdian kepada negara.
Seandainya para koruptor tidak mencuri uang rakyat, maka orang miskin di Kelurahan Rawamangun, Jakarta yang untuk makan seadanya ini  saja perlu berjuang, mungkin tidak harus seperti ini (Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com).
Rakyat Indonesia yang kebanyakan hanya lulusan SMA ke bawah sering bertanya mengapa orang hebat yang sudah bergelar profesor, doktor, master, atau sarjana dan sudah punya kehidupan yang baik masih mau mencuri uang rakyat? Jokowi, Ahok, Abraham Samad, Susi Pudjiastuti, dan pejabat lainnya mungkin juga sedang bertanya mengapa itu bisa terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H