Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertanyaan Sulit Jokowi di Hari Natal

25 Desember 2014   12:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:29 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Joko Widodo menyatakan tidak akan ada pengurangan hukuman mati bagi penjahat narkoba karena kejahatan narkoba memberikan dampak yang sangat buruk kepada masyarakat. Lalu ketika wartawan bertanya bagaimana dengan para koruptor, Presiden Jokowi mengajukan pertanyaan apakah undang-undang kita menyebutkan ada hukuman mati bagi koruptor.

Untuk menjawab pertanyaan Presiden tersebut, undang-undang kita sebenarnya sudah menyebutkan adanya hukuman mati bagi koruptor. Dalam bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana (sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) dalam pasal 2 disebutkan:

"1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Selanjutnya Penjelasan Undang-Undang itu menyebutkan "Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter."

Berdasarkan Undang-Undang itu berarti kejahatan korupsi dapat dijatuhi hukuman mati jika menyangkut keadaan tertentu. Namun dalam kenyataannya belum ada hakim yang berani menjatuhkan hukuman mati terhadap para koruptor. Jangankan hukuman mati, hukuman seumur hidup pun baru dijatuhkan kepada satu orang yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap tangan melakukan korupsi miliaran rupiah dengan memanfaatkan hasil putusan MK terhadap pemilihan kepala daerah.

Dengan demikian Presiden Jokowi sudah tepat mengatakan bahwa sesungguhnya penjatuhan hukuman mati bagi koruptor bukan di tangan presiden, tapi di tangan hakim atau pengadilan. Jika pengadilan menetapkan hukuman mati bagi koruptor, lalu terpidana meminta permohonan grasi, barulah itu berada di tangan presiden.

Semoga anggota DPR yang vokal seperti Ruhut Sitompul dan Adian Napitupulu dapat menyuarakan itu bahwa undang-undang kita sudah memungkinkan penjatuhan hukuman mati bagi para koruptor. Namun kalau dianggap kurang tegas, masih bisa diusulkan oleh DPR agar hukuman mati bagi para koruptor perlu lebih dipertegas sehingga para hakim lebih yakin menjatuhkannya.

Tapi sejatinya dari pada menjatuhkan hukuman mati bagi para koruptor, lebih baik mencegah jangan sampai ada lagi orang yang mau melakukan korupsi di Indonesia. Pendidikan yang baik di sekolah dan keluarga, serta di dalam masyarakat merupakan cara yang sangat baik dan ampuh untuk mencegah terjadinya korupsi itu. Misalnya dari pada melanggar lalu lintas di jalan dan memberikan uang kepada polisi, lebih baik jangan melakukan pelanggaran sama sekali. Atau kalau melanggar, maka jangan ada lagi yang mau memberikan uang kepada polisi karena sadar bahwa cara itu juga mendukung terjadinya korupsi.

Semoga dengan semangat natal hari ini korupsi bisa hilang dari bumi Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun