Tulisan ini hanyalah pengamatan seorang warga negara biasa tentang kehidupan politik Indonesia. Terus terang ini dilatarbelakangi "langkah rumit" yang harus dihadapi Presiden Jokowi ketika mencalonkan calon Kapolri yang ternyata di tengah pencalonan itu menghadapi masalah. Bukan saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Presiden agar berhati-hati dengan calon itu tetapi beberapa hari kemudian KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Akibatnya muncul penafsiran yang beragam. Ada yang mengatakan pencalonan calon Kapolri itu tidak terlepas dari pengaruh mantan presiden Megawati Soekarnoputri yang memang berperan besar dalam membesarkan Jokowi baik sebagai gubernur DKI maupun sebagai presiden RI. Tentu saja anggapan itu belum tentu benar. Namun kalau itu benar, maka kita tidak bisa berhenti di situ saja. Kita harus kembali ke belakang menelusuri sejarah.
Ada ceritera politik yang belum tentu benar juga. Konon Presiden Soeharto mempunyai metode yang luar biasa yang membuat semua menteri dan pejabat lainnya bisa dibuatnya merasa berhutang budi. "Merasa berhutang budi" secara politik inilah yang menjadi inti persoalan dalam tulisan ini.
Dari sejarah perpolitikan Indonesia kelihatannya "merasa berhutang budi" ini akan terus menjadi "momok" jika tidak segera diselesaikan secara tuntas. Mari kita urai satu per satu.
"Merasa berhutang budi" ala Penjajah Belanda
Mungkin masyarakat Indonesia kini sudah lupa bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi pejabat pemerintah di zaman penjajahan Belanda. Bahkan di zaman kemerdekaan, ketika terjadi perundingan hingga tahun 1949 ada banyak pejabat Belanda yang berasal dari Indonesia dan berhadapan dengan pejabat Pemerintah Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945. Bahkan pejabat Belanda yang merupakan orang Indonesia itu sering "lebih penjajah" dari pada pejabat Belanda. Mengapa itu bisa terjadi?
Karena penjajah Belanda sangat cerdas menerapkan sistem "merasa berhutang budi" sehingga pejabat Belanda yang sebenarnya orang Indonesia itu merasa berhutang budi dan terpaksa harus rela berpihak pada Pemerintah Belanda dan memusuhi rakyatnya sendiri.
Begitu lamanya sistem ini diterapkan Belanda, yakni sekitar 300 tahun, maka wajar saja di alam kemerdekaan yang masih kurang dari 100 tahun ini praktik itu masih sulit dilupakan.
"Merasa berhutang budi" ala Pak Harto
Di zaman Pak Harto semua menteri merasa berhutang kepada Pak Harto karena memang Pak Harto punya cara untuk mewujudkan itu. Seorang mantan menteri di zaman Pak Harto menuturkan bahwa dia akan menikahkan anaknya dan dia baru sadar bahwa dia tidak punya waktu untuk menyiapkannya karena memang hidupnya hanya untuk bekerja. Tiba-tiba seseorang datang untuk memberikan segala sesuatu yang diperlukan mulai A hingga Z. Tak lupa orang itu berkata, "Bapak (maksudnya Pak Harto) tahu bahwa Pak Menteri tidak punya waktu untuk memikirkan keluarga karena seluruh hidupnya hanya untuk bekerja memikirkan rakyat. Ini hanya sekadar perhatian Bapak, dan ada sedikit titipan dari Ibu Tien (itu jumlahnya bisa biaya hidup mereka setahun)." Siapa yang tidak merasa berhutang budi menerima itu di zaman itu?
Pada hal sesungguhnya jika diberikan pendapatan yang layak bagi setiap menteri, maka itu mungkin dan tidak perlu berhutang budi. Pemberian orang itu justeru harus ditolak seperti sekarang ini.
Akan terlalu panjang jika pelaksanaan "Merasa berhutang budi" ala atau di zaman presiden lainnya diurai satu per satu. Jadi untuk menyingkat waktu, langsung saja ke keadaan saat ini.
"Merasa berhutang budi" ala Megawati di zaman Jokowi
Dengan terpilihnya Jokowi menjadi presiden, praktik "merasa berhutang budi" ini sudah diingatkan banyak pihak, terutama hutang budi Presiden Jokowi kepada Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, dan Wiranto yang memainkan peran untuk memenangkan Jokowi sebagai presiden pada pemilu 2014. Tokoh "Oposisi" Fadli Zon paling gemar mengingatkan hal itu; bahkan secara tersirat Fadli Zon mengatakan Jokowi hanya bonekanya Megawati.
Jika pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, yang merupakan ajudan Megawati Soekarnoputri ketika presiden, benar sebagai akibat Jokowi "merasa berhutang budi" kepada Megawati, maka anak-anak muda sekarang yang akan menjadi pemimpin Indonesia di masa mendatang perlu belajar agar dapat menghilangkan praktek yang ternyata dapat menimbulkan masalah itu.
Pepatah "gara-gara nila setitik rusak susu belanga," kelihatannya berlaku juga dalam perpolitikan Indonesia. Bagaimana tidak? Semua capaian Jokowi sejak 20 oktober 2014 seolah tidak berarti lagi jika Komjen Budi Gunawan (yang disangka KPK melakukan korupsi) dilantik menjadi Kapolri. Melihat rekam jejak Jokowi sebenarnya tidak ada kaitan apa-apa antara Jokowi dan Komjen Budi Gunawan. Artinya tidak masalah sebenarnya kalau Budi Gunawan diganti dengan yang lain.
Masalahnya, kalau benar bahwa Komjen Budi Gunawan merupakan titipan Megawati, maka praktik  "merasa berhutang budi" itulah yang sulit diatasi. Namun dengan 100 hari Jokowi memegang tampuk kepemimpinan Indonesia, biarlah segera beliau sadar dan praktik hutang budi tidak perlu diwujudkan dengan tetap mempertahankan calon yang bermasalah itu.
Penutup
Semoga praktik "merasa berhutang budi" dalam perpolitikan di Indonesia dapat segera diatasi. Biarlah orang yang merasa memberikan jasa untuk membantu seseorang menjadi pemimpin tidak perlu merasa harus dibayar secara politik; itu sudah merupakan sumbangan besar untuk kemajuan Indonesia. Sebaliknya pemimpin yang menang dalam pemilihan umum biarlah "tidak merasa berhutang budi" kepada orang yang telah berjasa dalam pemenangannya sebab dalam pemilu harus ada pemenang (dengan atau tanpa didukung oleh orang tertentu). Memimpin secara baik dan tulus sudah merupakan ungkapan terima kasih yang besar bagi setiap yang berperan dalam mendukung seseorang menjadi pemimpin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H