Akan terlalu panjang jika pelaksanaan "Merasa berhutang budi" ala atau di zaman presiden lainnya diurai satu per satu. Jadi untuk menyingkat waktu, langsung saja ke keadaan saat ini.
"Merasa berhutang budi" ala Megawati di zaman Jokowi
Dengan terpilihnya Jokowi menjadi presiden, praktik "merasa berhutang budi" ini sudah diingatkan banyak pihak, terutama hutang budi Presiden Jokowi kepada Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, dan Wiranto yang memainkan peran untuk memenangkan Jokowi sebagai presiden pada pemilu 2014. Tokoh "Oposisi" Fadli Zon paling gemar mengingatkan hal itu; bahkan secara tersirat Fadli Zon mengatakan Jokowi hanya bonekanya Megawati.
Jika pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, yang merupakan ajudan Megawati Soekarnoputri ketika presiden, benar sebagai akibat Jokowi "merasa berhutang budi" kepada Megawati, maka anak-anak muda sekarang yang akan menjadi pemimpin Indonesia di masa mendatang perlu belajar agar dapat menghilangkan praktek yang ternyata dapat menimbulkan masalah itu.
Pepatah "gara-gara nila setitik rusak susu belanga," kelihatannya berlaku juga dalam perpolitikan Indonesia. Bagaimana tidak? Semua capaian Jokowi sejak 20 oktober 2014 seolah tidak berarti lagi jika Komjen Budi Gunawan (yang disangka KPK melakukan korupsi) dilantik menjadi Kapolri. Melihat rekam jejak Jokowi sebenarnya tidak ada kaitan apa-apa antara Jokowi dan Komjen Budi Gunawan. Artinya tidak masalah sebenarnya kalau Budi Gunawan diganti dengan yang lain.
Masalahnya, kalau benar bahwa Komjen Budi Gunawan merupakan titipan Megawati, maka praktik  "merasa berhutang budi" itulah yang sulit diatasi. Namun dengan 100 hari Jokowi memegang tampuk kepemimpinan Indonesia, biarlah segera beliau sadar dan praktik hutang budi tidak perlu diwujudkan dengan tetap mempertahankan calon yang bermasalah itu.
Penutup
Semoga praktik "merasa berhutang budi" dalam perpolitikan di Indonesia dapat segera diatasi. Biarlah orang yang merasa memberikan jasa untuk membantu seseorang menjadi pemimpin tidak perlu merasa harus dibayar secara politik; itu sudah merupakan sumbangan besar untuk kemajuan Indonesia. Sebaliknya pemimpin yang menang dalam pemilihan umum biarlah "tidak merasa berhutang budi" kepada orang yang telah berjasa dalam pemenangannya sebab dalam pemilu harus ada pemenang (dengan atau tanpa didukung oleh orang tertentu). Memimpin secara baik dan tulus sudah merupakan ungkapan terima kasih yang besar bagi setiap yang berperan dalam mendukung seseorang menjadi pemimpin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H