Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saran untuk Presiden Jokowi Tentang Penyelesaian Papua

4 Februari 2015   02:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:52 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengindonesiakan Papua dan Mempapuakan Indonesia

Tahukah kita bahwa jumlah penduduk Papua tidak terlalu banyak hanya sekitar 3 juta jiwa (hanya 1,2 persen dari penduduk Indonesia)? Tapi itu pun sudah termasuk warga pendatang yang bukan asli Papua. Warga Papua asli mungkin hanya sekitar 2 juta jiwa. Tapi dengan dua juta jiwa penduduk Papua ini sudah cukup membuat pemerintah kita pusing terutama kalau dikaitkan dengan kemerdekaan.

Sudahkah anda pernah berkunjung ke pulau dengan luas wilayah terbesar di Indonesia itu? Bukan saja pulau itu memiliki kekayaan alam yang luar biasa sehingga perusahaan dunia (PT Freeport) yang mengambil barang tambang (tembaga dan emas) dari pulau itu.

Tapi pulau itu juga indah karena memiliki danau besar yakni danau Sentani, dan memiliki markas tentara yang dulu dipimpin oleh jenderal AS, Jenderal MacArthur, yang memaksa Kaisar Jepang mengaku kalah dalam perang dunia kedua, dan masih banyak lagi tempat menarik karena pohon dan hutan di sana. Namun Papua memiliki sruktur alam yang sulit karena bergunung-gunung dan berbatuan sehingga pembangunan jalan misalnya tidak semudah membangun jalan di pulau Jawa.

Namun yang orang Indonesia tidak mengerti tentang orang Papua adalah banyaknya suku dengan kebiasaan yang berbeda. Pakar antropologi sering mengutip lebih dari tiga ratus suku bahkan ada yang mengatakan 500 suku di Papua. Padahal penduduknya hanya 2 juta. Artinya satu suku bisa terdiri dari hanya 4.000 orang, dan masih ada suku di Papua yang belum pernah melihat piring, sendok dan garpu; mereka hanya hidup di atas pohon-pohon di hutan Papua.

Lebih menarik lagi, orang Papua itu bisa dibagi ke dalam dua kelompok; yang hidup di sekitar pantai (dan biasanya lebih maju mungkin karena lebih mudah dijangkau), dan orang yang hidup di pegunungan dan biasanya kurang maju karena lebih sulit dijangkau. Ironisnya orang Papua yang sering menuntut kemerdekaan seperti OPM, pada umumnya orang-orang di pegunungan. Bahkan ada semacam "pertikaian" anak-anak di sana, jika Papua nanti merdeka maka yang pertama dilakukan adalah "menyingkirkan" orang-orang pantai Papua itu.

Keberagaman Papua

Seorang Nabire (orang pantai) yang kelihatannya cerdas karena lulus dari perguruan tinggi di pulau Jawa dan bekerja di PT Freeport pernah menjelaskan bahwa jika ada penerimaan pekerja baru bagi Freeport dan diharapkan warga Papua yang masuk, maka pada umumnya yang bisa lolos itu hanya orang-orang pantai.

Akibatnya orang-orang gunung seperti suku Amungme sering menuduh karena manajer (yang kebetulan orang pantai Nabire) tidak objektif dan hanya memilih sukunya sendiri. Padahal memang sangat jauh bedanya tingkat kemampuan para pelamar dari pantai dan gunung itu. Tentu ini bisa dipahami karena sekolah dan pendidikan jauh lebih baik di daerah pantai dari pada di daerah gunung.

Karena tidak memahami keadaan penduduk Papua ini maka kebijakan yang seragam dari pusat baik yang diterapkan pemerintah daeah maupun pihak keamanan seperti polisi dan TNI, sering meniulkan kekecewaan. Misalnya pihak TNI dan kepolisian sering menyebutkan bahwa orang Papua itu masih terbelakang dan sering menyelesaikan perbedaannya dengan perang suku.

Walaupun ada benarnya, namun tidak semua suku di Papua menerapkan sistem perang itu. Dari ratusan suku, mungkin hanya beberapa suku saja yang masih menerapakannya. Oleh karena itu tidak tepat pendekatan yang sama harus diberikan untuk semua suku di Papua. Untuk orang pantai misalnya tidak perlu lagi difokuskan untuk mencegah perang suku, karena mereka tidak melakukannya lagi.

Perlunya Kebijakan Yang tepat untuk Papua

Memahami dengan baik keadaan dan kondisi masyarakat di suatu daerah (dalam hal ini Papua) merupakan langkah pertama yang tepat. Setelah mengetahui itu barulah dibuatkan suatu program atau kegiatan yang tepat untuk bisa menolong masyarakat itu keluar dari persoalan yang mereka hadapi.

Menggeneralisasikan masalah dan membuat suatu kebijakan yang sama memang lebih mudah, namun sudah terbukti selalu gagal. Sebaliknya membuat kebijakan yang tepat dan tidak sama sesuai dengan kebutuhan masyarakat (baik oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, maupun TNI, dan Polri),  memang lebih sulit namun akan lebih efektif dan memiliki peluang untuk berhasil untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Papua menjadi warisan bom waktu atau sebaliknya?

Dengan cara itu diharapkan tidak akan ada lagi masalah separatisme di Papua karena masyarakat Papua pun sudah paham dan sadar sebagai bagian dari masyarakat Indonesia bukan itu cara yang terbaik untuk menyuarakan kebutuhannya. Sebaliknya jika masalahnya dapat diselesaikan, maka Pemerintah pusat terutama TNI dan Polri pun tidak perlu lagi khawatir untuk menghadapi ancaman separatisme di Papua.

Kalau masyarakat Papua dibiarkan hidup terbelakang (terutama beberapa suku tertentu yang hidup di dalam hutan dan gunung), termasuk belum pernah melihat piring, sendok dan garpu, maka itu akan menjadi bom waktu persoalan yang akan diwarisi oleh dan membebani generasi berikutnya.

Sebaliknya, jika masyarakat Papua saat ini bisa dibantu agar mereka dapat hidup lebih baik dan sejahtera (tanpa harus menghilangkan budaya mereka yang relevan), maka bukan saja masyarakat di pulau itu bisa hidup lebih baik, tapi generasi mendatang juga akan bisa terbebas dari isu ancaman separatisme di negeri itu.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun