Mohon tunggu...
Jimmy Simanungkalit
Jimmy Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, nonton film, dan dengar musik. Bekerja freelance sebagai penerjemah novel, mengajar komputer (untuk program-program aplikasi tertentu), dan siaran juga. Kadang-kadang pergi hiking dan kemping. Tapi tidak lupa makan, tidur, dan tentu saja bersenang-senang menikmati hidup :) Play hard, but work even harder!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pak Tigor Killer

28 Oktober 2010   11:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jam pertama seharusnya olahraga, tapi gurunya absen. Biasanya, murid lelaki kelas 3H sudah berhamburan ke lapangan bola, sedangkan para cewek mengadakan studi banding ke kantin, membandingkan makanan rumah versus makanan kantin. Hari ini berbeda, mereka terlihat memanfaatkan jam kosong itu untuk bermusyawarah dalam sebuah rapat pleno ala murid SMP.

“Kita harus melakukan sesuatu nih, ngga mungkin dong batin dan raga kita harus tersiksa setiap pelajaran matematika.” kata Riko bersemangat.

“Betul itu!!! Kita-kita nih, bisa terkena depresi dan phobia kalau yang beginian dibiarin. Harus ada tindakan! You guyz have to do something! Ini jelas-jelas penindasan terhadap kaum lelaki! Penindasan terhadap hak asasi manusia! Gimana kalo semua murid cowok kabur aja setiap pelajaran matematika.” Ronggur tiba-tiba berdiri dan berteriak mengaplikasikan istilah-istilah yang baru didengarnya dari radio semalam, sambil nunjuk-nunjuk kearah teman-temannya, namun secepat kilat ngumpet lagi dibelakang badan suburnya si Rony.

Ide itu jelas untuk mendukung hobi bolosnya pada jam pelajaran matematika. Alasan sepelenya: guru matematika yang killer bin nazong. Alasan seriusnya: kemampuan otaknya tidak cukup mampu menyerap hitung-hitungan tingkat lanjut, apalagi ditambah rumus-rumus. Entah setan apa yang menahan dia hari ini untuk tidak bolos.

“Iya nih, udah sebulan ini nafsu makan gua anjlok gara-gara kepikiran Pak Tigor dan kezalimannya. Tolong, jangan kalian biarkan gua merana dan jatuh kurus!” Rony memohon sambil tetap menjejalkan bakpao kedalam mulutnya. Freddy, sang ketua kelas, memasang tampang serius sementara 34 pasang mata memandang fokus kepadanya, mendambakan ide cemerlangnya.

“Tunggu sebentar, gua butuh udara segar untuk bisa berpikir jernih.” kata Freddy sambil berjalan keluar kelas. Yang lain menunggu sambil berbisik-bisik. Dua puluh lima detik kemudian, semua penghuni kelas terperanjat karena Freddy tiba-tiba berlari masuk lagi ke kelas dengan wajah tegang.

“Semuanya diaaaam! Freddy mendapatkan ide!” Juwita tiba-tiba melolong dengan dahsyat, mencoba menarik perhatian Freddy. Kelas pun hening bagai kuburan dan semua mata kembali tertuju ke Freddy yang malah grogi menjadi objek perhatian.

”Pak Tigor sedang menuju kesini!” teriaknya sambil berlari ke tempat duduknya. Rupanya, jam pelajaran sudah berganti dan sialnya…penjaga sekolah lupa lagi memukuli besi berkarat berbentuk velek mobil alias lonceng sekolah. Freddy jelas berhasil membuat seluruh penghuni kelas berlarian dengan cemas menuju kursi masing-masing, kemudian diam sambil menundukkan kepala, dalam hati mungkin sambil mendendangkan lagu mengheningkan cipta seperti yang mereka lakukan pada upacara bendera setiap Senin.

Wajah tak ramah Pak Tigor pun muncul. Kumisnya terlihat ganjil, bagian kira lebih tebal dari bagian kanan. Sorot matanya tajam dan liar bagaikan tukang copet mencari mangsa. Raut wajahnya dingin menebarkan virus permusuhan. Suasana berubah mencekam. Rinto terlihat tegang, mulutnya komat-kamit mirip dukun merapal mantra mengusir setan. Mantranya semakin cepat dirapal saat Pak Tigor dengan kasar menarik kursi guru dan duduk. Bunyi gesekan antara kursi besi dan lantai semen menandakan perang segera dimulai. Pertanda buruk bagi seluruh umat manusia penghuni kelas 3H!

Tanpa basa-basi, Pak Tigor mulai berkoar tentang materi pelajaran. Semua mata tertuju ke arahnya, tapi tak sepasang mata pun berani melihat langsung ke wajahnya, apalagi mata ketemu mata. Bagi mereka, Pak Tigor bagaikan Medusa, perempuan berambut ular, yang bisa mengubah manusia jadi batu hanya dengan tatapan matanya. Semua berusaha berkonsentrasi dengan rumus yang diberikan, namun secepat rumus itu masuk ke otak, secepat itu pula rumus itu meninggalkan otak hanya karena rasa takut yang menyerang. 65 menit dihabiskannya untuk berkoar dan mencoreti papan tulis dengan contoh-contoh soal dan penyelesaiannya. Momen penderitaan segera dimulai seiring dimulainya sesi tanya jawab.

“Baiklah! Dari penjelasan rumus-rumus yang berhubungan dengan lingkaran, dan dari contoh-contoh soal yang saya berikan, ada pertanyaan?” suara Pak Tigor menggelegar angker, seangker suara laki-laki yang baru dipersunting Kuntilanak. Semuanya kembali menunduk, tak ada yang berani bertanya atau mungkin tak tau harus bertanya apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun