Tidak sembarangan orang bisa nukang (bekerja sebagai Tukang) karena nukang itu berkaitan dengan turunan, sifat, bakat bahkan pendidikan seseorang.
Pengalaman menunjukan bahwa faktor keturunan bisa menyebabkan orang jadi biasa nukang, baik di rumah ataupun di tempat kerjanya.
Misalnya seorang Bapak yang berprofesi sebagai Tukang Bangunan. Profesi ini sangat bisa menurun ke anaknya karena anaknya terbiasa melihat kegiatan Bapaknya. Bakat sang anakpun dapat timbul dengan sedikit dibimbing oleh Bapaknya.
Ini terjadi pada diri saya. Kakek saya dulu memang bukan seorang Tukang Bangunan tapi Beliau sangat senang mengerjakan sendiri apa saja di rumahnya. Dari mulai memperbaiki rumah bahkan sampai membuat kandang ayam.
Perilaku ini menurun ke saya sampai sekarang sehingga saya pun selalu berusaha memperbaiki segala sesuatu yang kurang baik di rumah. Walaupun dulu, waktu kecil, saya tidak pernah diajarin nukang oleh Kakek tapi hanya melihat Beliau mengerjakan hal-hal tersebut.
Kelihatannya bakat nukang tersebut menurun ke saya saja bukan ke Kakak atau Adik saya. Kakak atau Adik saya selalu memanggil Tukang Bangunan atau Tukang Service untuk memperbaiki sesuatu di rumahnya dengan segala perintilannya.
Selain bakat, sifat juga dapat mempengaruhi kegiatan nukang ini. Saya memiliki sifat ingin tahu, sehingga apapun masalahnya saya pelajari dulu. Bila memungkinkan untuk ditangani sendiri, kenapa harus panggil orang lain? Bukan tak ingin berbagi tapi pikirannya... "Yaaah gitu aja masa ngga bisa sih?"
Karena itu, dulu saya kuliah di Teknik Industri yang berkaitan dengan segala macam urusan Teknik seperti mesin dan elektronik. Walaupun demikian bakat saya lebih cenderung ke mekanikal dibanding ke elektrikal. Beda dengan Kakak dan Adik saya yang mengambil jurusan Management.
Pengalaman tak terlupakan ketika jaman masih jadi Mahasiswa, saya bongkar mesin mobil sendiri karena penasaran saja, masa sih ngga bisa?
Melihat saya belepotan oli, Ibu saya tanya, "Ngapain kamu?"
"Lagi betulin mobil Bu", jawab saya.
"Oo.. betulin sendiri? Kakak kamu mana bisa.. biasanya dibawa ke bengkel".
Kata-kata itu masih teringat sampai sekarang, karena itu saya berkesimpulan bahwa latar belakang pendidikan juga bisa berpengaruh pada sifat nukang seseorang.
Sejak remaja sampai setua ini, apalagi setelah pensiun kerja, biasanya saya selalu mencari kesibukan dengan mengerjakan apa saja yang rusak tapi masih bisa diperbaiki dan apa saja yang saya inginkan.
Misalnya:
- Merubah warna rumah dengan mengecat eksterior dan interior rumah.
- Memperbaiki genteng bocor dengan masuk kedalam plafon rumah.
- Memasang antena TV dengan memanjat atap rumah.
- Berkebun, babat rumput, bersihkan got.
- Memperbaiki beberapa peralatan rumah tangga yang bermasalah, seperti kompor, rice cooker, oven, tabung gas, pompa air, WiFi, mobil, sepeda motor, kaset kusut dan lain-lain.
Jika hasil pekerjaan bagus maka akan ada kepuasan tersendiri. Tapi jika hasil pekerjaan malah jadi tambah rusak, saya pun beralasan "Lha Tukangnya kan amatiran".
Rasa-rasanya bakat nukang ini tidak menurun ke semua anak saya tapi menurun ke salah satu anak saya yang saat ini gemar utak atik sesuatu. Biarlah dia mengembangkan bakatnya. Karena nukang ini memang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H