Ke Jepang?... Wah, pingin banget kesana lagi seandainya bisa.
Bagaimana tidak pingin... zaman tahun 1990-an saya pernah tinggal di Jepang selama 1 tahun secara gratis pula karena semua biaya ditanggung oleh Perusahaan Jepang tempat saya bekerja saat itu.
Seandainya ada rezeki lebih, pingin banget bawa keluarga jalan-jalan sekaligus bernostalgia di Jepang.
*
Cerita ke Jepang gratis berawal pada tahun 1994 saya diterima bekerja di bagian Engineering Pabrik Elektronik milik Jepang yang memproduksi Video Tape Recorder (VTR). Seiring dengan berjalannya waktu, saya ditempatkan di bagian Design dengan misi lokalisasi produk VTR di Indonesia karena Pabrik Pusat di Jepang akan mengalihkan produksinya ke produk elektronik lain.
Tahun 1996 tepatnya bulan Februari, saya dengan Team Design yang berjumlah total 6 orang diberangkatkan ke Jepang untuk belajar Design VTR sekaligus on the job training selama 1 tahun.
Sebelum berangkat, kami telah dibekali dengan pelajaran bahasa Jepang serta penjelasan-penjelasan tentang kondisi, kehidupan dan budaya masyarakat Jepang oleh para Staf Jepang yang ada di Indonesia.Â
Yang paling berbeda dengan Indonesia, selain bahasa, adalah musim. Di Indonesia hanya ada 2 musim, musim penghujan dan kemarau tapi di Jepang ada 4 musim, musim panas, semi, gugur dan dingin. Karena itu kondisi kesehatan harus prima dan kamipun melakukan medical check-up.
Yang paling sibuk waktu itu adalah persiapan pakaian. Selain pakaian kerja, kami wajib mempersiapkan pakaian musim dingin karena bulan Februari adalah puncaknya musim dingin di Jepang. Alhasil saya berburu ke kawasan Mangga Dua Jakarta untuk mencari jaket musim dingin yang harganya tidak mahal.
*
Pesawat kami berangkat sekitar jam 12 malam dan transit lebih dulu di Singapura untuk kemudian mendarat di bandara Narita Tokyo sekitar jam 6 pagi waktu setempat. Waktu itu rasanya kurang tidur karena perbedaan waktu 2 jam sehingga jarum jam saya masih menunjukan jam 4 pagi waktu Jakarta.
Setelah pesawat mendarat di Tokyo, kami perlu naik kereta lagi ke kota Yokohama yang jaraknya sekitar 1,5 jam dari Tokyo. Bayangkan dengan membawa koper-koper perlengkapan pakaian untuk 1 tahun, kami harus transit pindah transportasi dari pesawat ke kereta.
Tapi disinilah kami mulai merasakan kemudahan transportasi ala Jepang. Sama sekali tidak ada kerepotan dan kebingungan untuk pindah transportasi dari pesawat ke kereta karena semuanya telah terintegrasi. Dan petunjuk-petunjuknya pun cukup jelas karena terdiri dari 2 bahasa, bahasa Jepang dan bahasa Inggris.
*
Selama 6 minggu pertama kami ditempatkan di Yokohama Kenshu Center (YKC) di kota Yokohama. YKC ini adalah milik The Association for Overseas Technical Cooperation and Sustainable Partnerships (AOTS) yaitu sebuah organisasi pengembangan sumber daya manusia negara-negara berkembang untuk mempromosikan kerja sama teknis melalui pelatihan, pengiriman tenaga ahli, dan program lainnya. Dan Perusahaan kami bekerja sama dengan AOTS untuk mengurus kami selama berada di Jepang.
YKC ini berbentuk seperti apartemen, kami mendapatkan 1 kamar perorang. Gedung ini dilengkapi dengan lobby, resepsionis, ruang-ruang kelas, kantin, aula olah raga sampai ruangan cuci setrika di tiap lantainya.
Boleh dibilang, program di YKC ini adalah program adaptasi kehidupan kami di Jepang. Programnya antara lain, mendalami bahasa Jepang, budaya Jepang, homestay di rumah penduduk, tanggap darurat karena Jepang sering dilanda gempa bumi serta program wisata ke kota-kota yang bisa kita pilih. Pokoknya enak banget deh karena semuanya gratis.
Program Homestay di rumah penduduk benar-benar memberikan kami gambaran keramahan masyarakat Jepang. Dimana kami diajak ngobrol dan makan ala Jepang.
Biasanya rumah penduduk yang menerima homestay berisi sepasang suami istri yang sudah tua sehingga mereka menganggap kami seperti anak sendiri, begitu pula sebaliknya kami menganggap mereka sebagai orang tua sendiri.
Di akhir program, kami memilih wisata ke gunung Fuji dan kota Hiroshima. Alasannya adalah, saat itu musim dingin sehingga kita bisa main ski di kaki gunung Fuji. Sedangkan Hiroshima kami pilih karena ingin melihat bukti-bukti jatuhnya bom atom di kota tersebut.
Yang menarik, staf AOTS menawarkan hotel untuk menginap yang gaya Jepang atau gaya Barat?
Kami ambil jalan tengah, di Hiroshima kami minta hotel bergaya Barat, ini adalah hotel-hotel konvensional. Sedangkan di gunung Fuji kami pilih yang bergaya Jepang, dimana sekamar bisa rame-rame tidur menggunakan futon bed (kasur ala Jepang) dan mandinya di kamar mandi umum ala Jepang.
Disinilah kami pertama kalinya merasakan kereta tercepat sedunia (waktu itu) Shinkansen.
Kereta ini benar-benar luar biasa ketepatan waktunya. Di tiap gerbong yang interiornya berasa seperti pesawat terbang ini terdapat jam digital sehingga kita bisa memonitor ketepatan waktu, sampai menit pun bisa tepat! Misalnya jadwal tiba di Stasiun A jam 10.37 dan benar saja ternyata kereta berhenti tepat jam 10.37, padahal jarak antar stasiun bisa ratusan kilometer.
Salah satu budaya Jepang adalah tepat waktu. Saat bekerja pun kami bisa diomelin Bos jika terlambat datang rapat misalnya. Bos selalu pesan, datang ke ruang rapat harus 10 menit sebelum jam yang ditentukan, untuk persiapan.
*
Setelah program YKC selesai, kami dipindahkan ke kota Osaka karena Kantor Pusat Perusahaan kami berada di kawasan Osaka. Kami ditempatkan di Kansai Kenshu Center (KKC) yang juga milik AOTS dengan fasilitas yang sama dengan YKC.
Disinilah kehidupan baru dimulai. Kami dilepas begitu saja tanpa pengawasan dari staf AOTS. Jadi, pergi-pulang ke Kantor Pusat tiap hari untuk on the job training adalah tanggung jawab kami sendiri dengan berbekal adaptasi kehidupan masyarakat Jepang di YKC.
Oleh Perusahaan, tiap bulan kami dibekali uang saku sebesar 87.000-yen dan kartu debit untuk naik kereta. Uang tersebut bebas digunakan untuk apa saja sedangkan kartu debit hanya untuk tujuan ke Kantor Pusat.
Dengan uang yang setara dengan Rp. 9.128.910 (kurs saat ini) kami bisa menikmati kehidupan Jepang selama 1 bulan. Bagaimana tidak, karena sarapan pagi, siang, malam, tempat tinggal sampai cuci setrika semua gratis ditanggung oleh AOTS/Perusahaan.
Tapi kalau Anda tidak mendapatkan subsidi, jangan coba-coba hanya membawa uang sejumlah itu yaa.. apalagi jika dikurs ke mata uang Rupiah, harga-harga jadi terasa mahal.
Di Osaka memang ada banyak tempat belanja yang murah meriah (untuk level Jepang lho ya). Letaknya bukan di Mall atau gedung-gedung perbelanjaan tapi di gang-gang sempit sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Untuk berburu barang murah, kita harus berani menjelajahi dulu sudut-sudut kota untuk memahami situasi.
Saya pernah beli kamera bekas berkualitas di Nipponbashi Osaka yang terkenal dengan pusat perbelanjaan elektronik tapi bukan yang di toko-toko sepanjang jalan Nipponbashi, disitu semua barang baru. Saya menemukan toko-toko kecil yang ada di gang-gang kawasan tersebut yang jual produk elektronik bekas dan servicenya pun memuaskan, khas orang Jepang.
Ada yang menarik ketika saya mau beli sepatu kets untuk sehari-hari. Ada toko yang obral sepatu dan saya naksir salah satunya yang bermerk terkenal. Ketika saya lihat-lihat labelnya, ternyata tertulis MADE IN INDONESIA.. segera saya beli karena bangga jadi orang Indonesia.
*
Bicara tentang budaya kerja orang Jepang jika dinilai ekstrem, saya setuju. Sebab, mereka bekerja seperti tanpa kenal waktu. Tapi mereka sangat memanfaatkan waktu istirahat pada jam kerja dengan baik sehingga staminanya kuat.
Kantor Pusat memiliki jam kerja normal 08.00 - 17.00, tapi kebanyakan para Pekerja biasanya baru pulang jam 22.00 dengan hitungan lembur tentunya. Karena fenomena itu pula maka Perusahaan memiliki kebijakan bahwa setiap hari Rabu, semua Pekerja wajib pulang jam 17.00 agar kesehatan mereka tidak terganggu. Alhasil kami pun lama kelamaan terbawa dengan gaya kerja mereka yang pulang malam.
Mungkin karena faktor semangat kerja ini pula, banyak Pekerja yang jomblo. Yang sudah menikah pun kebanyakan tidak memiliki anak atau hanya memiliki 1 anak. Tapi itu tahun 1996 - 1997 lho yaa.. ngga tau sekarang apa sudah nambah atau belum.
*
Nah jika Anda berminat bekerja di Jepang, pelajari dulu budaya masyarakat Jepang pada umumnya dan budaya kerja pada khususnya. Mereka rata-rata pekerja profesional yang bekerja seperti tidak kenal waktu tapi harus tepat waktu dalam masalah apapun termasuk masuk dan pulang kerja. Perlu persiapan mental dan disiplin untuk mengimbangi kinerja mereka.
Coba perhatikan cara mereka berjalan kaki, rata-rata jauh lebih cepat daripada orang Indonesia. Itu menandakan tiap detik sangat berharga bagi mereka.
Saya termasuk orang yang beruntung selama 27 tahun bekerja sama dengan orang Jepang dan banyak belajar dari budaya kerja mereka yang pantas ditiru oleh orang Indonesia.
**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI