UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang diberlakukan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah biaya kuliah per semester yang ditanggung oleh setiap mahasiswa/i dan disesuaikan berdasarkan kondisi ekonomi keluarga.
Sedangkan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) UKT dikenal sebagai SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), besarnya sama untuk seluruh mahasiswa/i aktif dan dibayarkan juga per semester.
Sebagai orang tua yang dikaruniai 5 anak, kebayang dong betapa besarnya biaya kuliah anak-anak ketika pendidikan mereka mencapai Perguruan Tinggi secara bersamaan.
Jujur keinginan saya adalah semua anak-anak bergelar Sarjana agar kehidupan mereka kelak lebih baik daripada orang tuanya.
***
Sebagai pekerja pabrik yang gajinya tidak bisa dibilang besar dibanding pekerja kantoran, saya sudah terpikirkan masalah ini sejak anak-anak masih sekolah di TK dan SD. Saya sudah hitung-hitung perkiraan tahun berapa mereka masuk Perguruan Tinggi dan tahun berapa biaya terbesar yang harus dikeluarkan serta perkiraan berapa jumlah biayanya saat itu.
Oleh karena itu, strategi awal adalah mendoktrin anak-anak supaya rajin belajar dan tidak ragu-ragu bertanya kepada bapaknya tentang apapun pelajaran-pelajaran yang sulit di Sekolah. Maklum bapaknya seorang trainer di perusahaan, jadi bisa berperan sebagai guru di rumah.
Sebenarnya dibalik strategi awal tersebut terselip tujuan agar jika nilai rapor mereka baik maka anak-anak dapat diterima di Sekolah Negeri di Jakarta yang tidak ada pembayaran SPP-nya alias gratis. Â
Alhamdulillah anak pertama dan kedua berhasil masuk SMP Negeri, SMA Negeri dan melanjutkan kuliah di PTN sampai akhirnya keduanya lulus menjadi Sarjana. Biaya kuliah per semester keduanya saat itu sekitar 8 juta, ini masih dapat ditutup dari gaji bulanan.
***
Nah, anak ketiga ini mempunyai pikiran yang anti mainstream. Kaget juga ketika dia memutuskan untuk memilih SMK Negeri jurusan Pariwisata setelah lulus SMPN. Dia hanya tersenyum ketika saya tanya, "Mau jadi apa kamu?"
Entah apa yang ada dalam pikirannya, yang jelas saya baru menyadari beberapa tahun kemudian ternyata pilihan anak saya itu adalah pilihan yang bijak.
Di SMK ada yang namanya praktek kerja. Dia memanfaatkan praktek kerja tersebut untuk membina relasi dengan para pengusaha pariwisata. Alhasil ketika dia lulus SMK, dia dapat langsung diterima bekerja di salah satu perusahaan pariwisata tersebut.
Pikiran saya waktu itu, ya sudah pasrahlah anak ini tidak menjadi Sarjana seperti kakak-kakaknya. Tapi saya salah!
Setahun kemudian ternyata dia mendaftarkan diri ke sebuah PTS untuk Kelas Karyawan yang kuliahnya seminggu sekali. Dan dia menanggung sendiri SPP-nya dari gaji bulanannya tanpa minta ke orang tua.
Barulah saya sadar bahwa ini adalah trik anak millennial untuk menyiasati biaya SPP/UKT agar tidak membebani orang tuanya.Â
Tentunya saya sangat bersyukur memiliki anak yang berpikiran dewasa seperti ini untuk mengurangi beban orang tuanya tapi tetap berkeinginan mewujudkan cita-cita orang tuanya agar menjadi Sarjana.
***
Langkah ini diikuti oleh anak keempat walaupun dia butuh perjuangan yang lebih dibanding anak ketiga. Lulus SMK Negeri jurusan Digital Marketing, dia sempat menganggur karena menolak disalurkan bekerja di Minimarket oleh SMK-nya. Dia lebih mengikuti kata hatinya untuk bekerja sebagai Barista di sebuah Cafe. Dan dia juga mendaftarkan dirinya ke PTS untuk Kelas Karyawan saat ini.
Dan saya berharap anak kelima mengikuti jejak kakak-kakaknya, apalagi saat ini dia sekolah di SMK jurusan Digital Communication Visual yang dapat memanfaatkan ilmunya untuk mendapatkan cuan saat dia masih bersekolah dan tidak perlu menunggu lulus dulu.
*
Ada perbedaan mendasar antara anak-anak yang sekolah di jalur konvensional SMA dengan yang sekolah di SMK.
SMK mempunyai program penyaluran tenaga kerja ketika siswa/i-nya lulus dari SMK tersebut karena siswa/i telah memiliki sedikit pengalaman di dunia kerja melalui praktek kerja lapangan.
Sedangkan di SMA, karena mata pelajarannya terlalu umum maka lulusannya, seolah-olah, belum siap kerja. Kalaupun diterima bekerja, siswa/i perlu menambah ilmunya agar mencapai level jabatan yang lebih tinggi.
Tulisan ini hanya sekedar berbagi pengalaman bukan menggurui. Yang jelas, masa depan pendidikan anak-anak tidak hanya di tangan kita, para orang tua, tapi ajaklah mereka berpikir untuk menentukan masa depannya.***Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H