JA : Anggotanya siapa aja?
AH : Anggotanya temen-temen sekelas yang mau, mereka wajib bayar 200rb/orang. Aku ngga mau, makanya aku dikucilkan oleh mereka.
Saya maklum anak saya tidak mau ikut-ikutan grup tersebut, karena Alhamdulillah prestasinya bagus sejak kelas 10. Bahkan anak saya ini aktif menentang bocoran UN yang beredar di kalangan teman-temannya.
JA : Lalu, setoran anak-anak dikasih ke siapa? Siapa yang memberikan bocoran soal itu?
AH : Aku ngga tau. Mereka ngga pernah ngomong soal itu.
Esoknya (14/04/2015), info ini saya teruskan ke sebuah radio swasta yang sedang wawancara dengan pejabat Diknas tentang pelaksanaan UN SMA 2015. Pejabat Diknas rupanya juga telah mendapatkan informasi bocoran UN ini, dan akan menindak-lanjutinya.Â
Saya prihatin ketika Mendiknas dan jajarannya menyatakan bahwa pelaksanaan UN sukses tapi justru dikalangan pelajar, jawaban UN bocor kemana-mana.
Beberapa hari kemudian, saya dengar berita bahwa Polisi mengusut pembocor UN SMA yang mengunggah 30 bocoran soal UN SMA ke Google Drive. Mendikbud dan Polisi memang bertindak cepat untuk mengusut kasus ini tapi sayang, sampai hari ini saya tidak mendengar pengusutan tentang kebocoran soal UN di media sosial Line, BBM ataupun WA.
Informasi dari anak saya, setelah UN SMA selesai, grup-grup itu hilang begitu saja, sudah dihapus oleh adminnya.
Saya jadi tambah penasaran nih.
Kenapa Pemerintah hanya menemukan kebocoran soal UN yang di Google saja?
Padahal aroma kebocoran di media sosial justru lebih terasa dikalangan siswa?