Hotel Grand Sahid Jakarta, Rabu 20/02/2013, kala itu pak SBY mengaku 'dihajar' media massa di Indonesia dalam pidato pembukaan acara Rakernas Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia (APKASI) ke IX dan Perhimpunan Penyuluh Tani (PERHIPTANI) ke X.
"Saya pernah dihajar. Statement saya dipotong, dilepas dari konteksnya. Digoreng ke sana kemari," kata pak SBY. "Akhirnya saya hanya mengatakan: ya Allah, menyampaikan statement seperti itu tapi banyak yang kreatif. Akhirnya pelintir ke sana kemari. Ini tidak perlu lah sebenarnya".
Beda dengan pak SBY, pak Jokowi malah menganggap berita-berita itu sebagai fungsi kontrol dari media. “"Saya enggak pagi, enggak malam, buka media mainstream, online sampai media kecil saya baca semuanya. Sehingga kalau dia nulis aneh-aneh yang melintir saya makan semuanya. Karena apapun itu adalah fungsi kontrol," tutur pak Jokowi, Senin (27/4/2015).
Media di era reformasi memang ganas terlebih sejak maraknya media online. Entah apakah karena persaingan bisnis atau rating, yang jelas media berusaha menampilkan judul-judul yang bombastis dari berbagai sudut untuk menarik perhatian konsumen.
Hal ini diperparah dengan persaingan antar sesama para jurnalis itu sendiri. Masing-masing jurnalis berusaha menampilkan sesuatu yang lain dari pada rekan-rekannya, tentu agar mereka tetap bisa eksis ditempatnya bekerja. Beberapa diantaranya memang sukses membuat tulisannya meledak di pasaran.
Sayang, terkadang tulisan yang “meledak” tersebut malah menjadi polemik di masyarakat bahkan dikalangan elit negeri ini. Apalagi masyarakat media sosial lebih senang me-retweet judul beritanya saja tanpa baca isi berita. Alhasil urusan jadi ruwet.
Ambil contoh berita dibawah ini.
Jika anda membaca judulnya saja di Twiter misalnya, lalu me-retweet, maka dijamin ratusan bahkan ribuan follower anda akan mempunyai pikiran yang sama dengan judul tersebut.
Tapi, tahukah anda jika anda membaca isi berita maka persepsi yang anda dapatkan akan lain.
Didalam berita tertulis seperti ini:
Lha, jadi yang harus dibuang apanya?
“Pandangan”nya ... bukan IMF, Bank Dunia dan ADB-nya.
Contoh lain ...
Ini agak rumit, bahkan pak SBY pun harus membuat kultwit tentang ini.
Judul berita seperti ini:
Dibawah judul, sang jurnalis sudah menampilkan sub judul. Artinya, judul itu adalah persepsi sang jurnalis dari kata-kata yang disampaikan pak Jokowi.
Didalam berita tertulis seperti ini:
Sama sekali pak Jokowi tidak menyebut “anti IMF”, pak Jokowi hanya menyebut “anti”.
Penambahkan kata “IMF” ya tentunya itu persepsi dari sang jurnalis karena kata-kata “kan kita masih pinjam ke sana” diartikan oleh sang jurnalis sebagai pinjam ke IMF. Padahal kata “sana” bisa saja yang dimaksud adalah Bank Dunia atau ADB.
Tapi ...
Semua kembali ke anda ... Lha, anda yang baca berita kok.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H