Mengenang almarhum Aryo Hanggono, Planologi ITB 83, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikaanan
***
Jumlah mahasiswa yang kuliah pada jurusan yang saya pilih di ITB dulu, Planologi, berkisar 40 orang per angkatan.
Angkatan saya (masuk tahun 1982) berjumlah 37 orang. Di antara kami, 6 orang atau 16,2% telah meninggal dunia.
Angkatan yang lebih senior, 1981, berjumlah 41 orang. Kini bersisa 38 orang karena 3 yang lain (7,3% ) telah berpulang ke rahmatullah. Salah seorang di antaranya meninggal setelah terpapar virus corona. Artinya 2,4 persen.
Angkatan yang setahun lebih muda, 1983, berjumlah 42 orang. Almarhum Aryo Hanggono yang baru saja berpulang setelah beberapa waktu lalu terpapar SARS-CoV-2, merupakan alumni kedua angkatan tersebut yang meninggal dunia. Artinya setengah dari 4,8 persen yang sudah menemui ajal.
***
Ketiga angkatan tersebut berjumlah 120 orang. 11 orang atau 9,2% telah lebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. 2 orang di antaranya, atau 1,7% terkait pandemi Covid-19.
Tapi mereka bukanlah sekedar angka-angka statistik dan kematian.
Tak satupun di antara kami yang akan berdiam diri dan membiarkan mereka pergi meninggalkan dunia ini. Jika ada kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat menghalanginya. Apa lagi keluarga mereka. Baik istri dan anak-anak yang pasti mencintai dan menyayangi sahabat-sahabat kami itu. Maupun kerabat dekat maupun teman-temannya.
***
Kematian memang merupakan suratan takdir setiap makhluk yang hidup di dunia ini. Kaum yang beriman kepada Zat Yang Maha Pencipta, mempercayai segala penyebab yang terjadi hanyalah jalan atau cara untuk menunaikan janji Nya.
Tapi tak ada ajaran maupun paham keimanan yang membenarkan penganutnya, untuk tak berbuat sesuatu, dan hanya duduk termangu menanti ajal menjemput. Bukan begitu hal yang dimaksud dengan berserah diri dan ikhlas pada suratan takdir Nya.
Sebagai makhluk Nya, kita justru diajarkan untuk berikhtiar, lalu berupaya sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan, untuk mempertahankan kehidupan yang diberi Nya.
Dengan demikian, setiap umat Nya diminta untuk dapat lebih banyak melakukan kebaikan yang bermanfaat atas anugerah kesempatan yang dimiliki. Bukan semata bagi diri sendiri maupun mereka yang terdekat dan ada di sekitarnya. Tapi justru kepada sebanyak-banyaknya yang lain.
***
Maka sepantasnya kita menyesali keteledoran, kegagalan, atau mungkin keangkuhan dalam menyikapi, menghadapi, dan menyiasati pandemi ini. Sehingga 2 di antara 3 teman-teman yang menjadi bagian dari alumni Planologi ITB angkatan 1981-1983 tersebut, tak dapat diselamatkan setelah tertular virus corona itu.
Sudahkah kita melakukan hal yang semestinya, untuk menyikapi, menghadapi, dan menyiasati ancaman virus yang hingga kini masih berkeliaran misterius tersebut?
***
Aparat kepolisian biasanya menutup area tertentu. Saat mereka melakukan pengepungan untuk menyergap penjahat bersenjata atau teroris. Garis pembatas ditegakkan agar masyarakat tak bisa, bahkan tak boleh, berlalu lalang di sana.
Selain alasan agar tak mengganggu jalannya operasi penyergapan yang sedang dilakukan. Ketentuan tersebut juga diberlakukan demi keselamatan warga di sekitarnya.
Aparat yang bertugas itu, memang dibiayai Negara melalui uang pajak yang dikumpulkan dari seluruh rakyat, untuk melindungi dan melayani mereka. Maka hal yang dilakukan, semestinya bukan demi kepentingan diri maupun keluarga mereka sendiri.
***
Tapi mengapa kesigapan seperti menghadapi penjahat atau teroris itu, tak terlihat padanannya, justru di saat kehadirannya sangat dan lebih diharapkan, dalam menghadapi virus yang misterius ini?
Tentu saja yang dimaksud bukan aparat kepolisian. Tapi justru kekuasaan dan kewenangan yang jauh lebih tinggi dibanding petugas-petugas yang diizinkan menyandang -- dan bila perlu menggunakan -- senjata api tersebut.
Sebab, penyergapan dan pemberantasan penjahat maupun teroris yang kini kerap dapat disaksikan masyarakat luas melalui tayangan langsung televisi itu, sejatinya merupakan bagian kecil kesuksesan kepemimpinan puncak yang jauh di atasnya. Kehebatan satuan yang menangani merupakan kepiawaian pemimpin tertinggi korps tersebut.
Dalam mengelola dan mengembangkan jajaran sumberdayanya. Pemimpin tertinggi yang piawai itu adalah wujud kejelian -- mungkin juga kecerdasan -- pemimpin lebih tinggi yang mengangkatnya. Yakni, Presiden.
Tapi di mana dan ke mana semua kegagahan dan kehebatan itu, saat masyarakat ketakutan hidup di tengah ketidak pastian, menghadapi teror virus yang misterius tersebut?
***
Posisi pertama dan utama pastilah hanya diduduki oleh manusia terpilih. Karena berbagai keistimewaan yang dimiliki dan keluar-biasaan kemampuannya.
Saat seperti ini, masyarakat luas yang memilih dan mempercayai dirinya untuk berada dan memimpin di puncak kekuasaan itu, berharap dan sangat menantikan demonstrasi segala keistimewaan dan keluar-biasaan tersebut.
Sebab, untuk dan karena hal itulah, segala kemewahan dan keistimewaan pemimpin, diserahkan rakyat kepadanya.
Sangat mengherankan dan tak masuk akal, ketika telunjuk kekacauan maupun ketidak mampuan mengatasi, justru diarahkan kepada yang lain -- bahkan masyarakat luas -- yang dulu justru diminta menyerahkan amanah padanya.
Ketiga rekan yang terpapar virus corona itu -- 2 di antaranya meninggal dunia -- bukan sekedar melengkapi angka-angka statistik pandemi.
Dari sudut pandang ikhtiar dan semangat hidup manusia, seharusnya dan sangat mungkin, mereka terlindungi dari bencana itu. Urusan takdir Tuhan yang Maha Kuasa bukan bagian dari diskusi penting ini.
Bila Anda belum peduli dengan kematian orang-orang yang tak dikenal, apakah perlu menunggu Covid mendatangi kerabat Anda dulu?
Mardhani, Jilal -- 28 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H