Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Upeti PPN dan PPnBM yang Disia-siakan

13 September 2020   13:05 Diperbarui: 13 September 2020   13:10 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari LHP-LKPP (audited), istimewa

Matahari sedang terik. Leher terasa kering. Lalu bayangan air mineral dingin yang mengguyurnya pun berkelebat.  

Kebetulan beberapa meter lagi, di sisi kiri jalan yang sedang dilalui, ada toserba yang jaringannya kini sudah menjamur. Bahkan hingga desa-desa di kaki gunung maupun pinggir pantai. Beberapa meter lebih ke depannya, juga berjejer toserba yang lain. Dari jaringan yang sama. Maupun pesaingnya.

Maka kendaraan yang dikemudikannya segera berbelok ke kiri. Memasuki halaman depan toserba di sisi jalan itu. Untuk membeli sebotol air mineral yang diletakkan di lemari pendingin.

"Berapa mbak?"

"Rp 3.000. Ada tambahan lainnya, pak? Donatnya, mungkin? Beli satu gratis satu."

Rangkaian kalimat pada bagian belakang, merupakan prosedur operasional standar yang selalu diterapkan kasir yang bertugas. Jika di jaringan pesaing mereka bunyinya beda lagi,

"Ada nomor anggotanya, pak? Pakai nomor telepon juga bisa."

***

Rp 272,73 dari Rp 3.000 yang dibayar untuk sebotol air mineral dingin itu, wajib disetor jaringan waralaba toserba tersebut ke negara. Namanya pajak pertambahan nilai. Awal bulan depan, bersama dengan hasil penjualan yang lain, harus dilaporkan kantor pusat toserba ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Di dalam laporan yang disebut sebagai SPT (surat pajak terhutang) itu, juga dimuat piutang pajak perusahaan. Misal air mineral tadi. Pemasoknya mungkin terlebih dahulu telah mengirim ke gudang jaringan waralaba toserba, sebulan lalu. 

Katakanlah dengan harga Rp 2.200 per botol. Bersama tagihan yang disampaikan, tercakup juga kewajiban jaringan waralaba toserba atas PPN yang harus diserahkannya kepada pemasok. Besarnya Rp 200.

Bagi perusahaan jaringan waralaba toserba yang dikunjungi untuk membeli sebotol air mineral dingin tadi, Rp 200 PPN yang bulan lalu telah disetornya ke pemasok itu, disebut sebagai pajak masukan. Jumlah itulah yang diperlakukannya sebagai piutang pajak saat melaporkan hutang PPN-nya yang dibayarkan atas pembelian sebotol air mineral dingin tadi. Istilahnya pajak keluaran, yakni yang bernilai Rp 272,73 itu.

Kembali ke SPT tadi, jika disederhanakan atas transaksi sebotol air mineral pelepas dahaga itu, perusahaan jaringan waralaba toserba tersebut akan melaporkan hutangnya yang wajib disetornya kepada Negara sebesar Rp 72,73. Diperoleh dari selisih pajak keluaran Rp 272,73 atas pembelian sebotol mineral dingin, dikurangi Rp 200 pajak masukan yang diserahkan ke pemasok sebelumnya.  

Pemasok pun melakukan hal yang sama. Rp 200 PPN per botol yang diterimanya dari perusahaan jaringan waralaba toserba, merupakan pajak keluaran mereka. Sedang hutang pemasok kepada Negara, merupakan selisih terhadap PPN masukan yang diserahkannya saat membayar tagihan dari pabrik air mineral kemasan yang mereka distribusikan.

Artinya, PPN dari sebotol air mineral dingin yang ingin diguyurkan ke kerongkongan yang kering di tengah teriknya matahari tadi, seluruhnya ditanggung pembeli. Konsumen akhir. Bukan pabrik yang memproduksi. Bukan juga pemasok yang mendistribusikan ke gudang-gudang jaringan waralaba toserba. Tidak pula, jaringan waralaba toserba yang mendinginkan dan menjualnya ke pembeli yang kehausan itu.

PPN (dan PPnBM atau Pajak Penjualan Barang Mewah) yang dibayar rakyat atas air mineral dingin yang diminumnya, listrik yang mengaliri rumahnya, bahan bakar yang digunakan kendaraannya, deterjen untuk mencuci pakaian yang dikenakannya, sabun dan odol yang digunakannya saat mandi sebelum berangkat pagi tadi, dan seterusnya -- sepanjang tahun 2019 kemarin -- berjumlah Rp 534,9 triliun (LKPP, audited).

Jumlah tersebut hampir setara dengan 1/4 pendapatan operasional negara tahun 2019 yang berjumlah Rp 2.168,9 triliun.

***

Lalu, berapa bagiankah dari jenis 'upeti' yang kita serahkan setiap kali membeli kebutuhan barang dan jasa tersebut -- kecuali segelintir yang dikecualikan -- yang digunakan untuk membiayai kesejahteraan pegawai pemerintah pusat (termasuk perjalanan dinasnya)?

80,1 persen.

Porsi tersebut, sejak tahun 2014, terus meningkat. Jauh di atas periode-periode sebelumnya.

Sepatutnya seluruh aparat negara hari ini, termasuk pegawai kontraknya, perlu cepat-cepat bercermin pada realita tersebut di atas. Sebab, hampir semua Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang dikutipi dari 276 juta lebih rakyat Indonesia, sejatinya hanya untuk membiayai kesejahteraan dan kemewahan hidup mereka.

Tentu, para aparat itu pun termasuk rakyat pembayar PPN dan PPnBM.  Hari ini jumlah mereka dan anggota keluarganya, kurang lebih 7,5% penduduk Indonesia.

Tapi, apa masih pantas membusung dada dan bersikap mentang-mentang kepada mereka yang bercucuran peluh dan air mata, menyantuni segala kesejahteraan dan kemewahan hidup diri dan keluarganya, sementara hasil kerja dan pelayanan yang diberikan terus memburuk?

***

Mengapa dikatakan (kurang-lebih) semua 'upeti' berbentuk PPN dan PPnBM yang ditarik penguasa atas nama negara, hanya digunakan untuk membiayai kesejahteraan hidup dan kemewahan aparatnya semata?

Sebab, angka di atas, baru mencakup pembiayaan yang dikeluarkan untuk tingkat pusat. Belum lagi menghitung pegawai pemerintah di daerah-daerah. Tahun 2019 lalu, 37,5% dari penerimaan operasional merupakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Sementara pengeluaran untuk pegawai di masing-masing daerah, rata-rata mengambil bagian 1/3 dari realisasi anggaran mereka.

***

Siapa saja yang paham angka-angka nyata di atas, niscaya memaklumi. Jika rasa mual dan muak menyaksikan ketidakbecusan aparat Negara, baik di pemerintah pusat maupun daerah-daerah, di tengah pandemi yang disebabkan virus corona hari ini. Sebab, musibah tersebut telah menelanjangi berbagai omong kosong yang sebelumnya masih bisa ditutup-tutupi dengan bermacam pencitraan, rekayasa pelaporan, dan upaya-upaya menyebalkan yang memecah belah penyantun hidup mereka.

Berkacalah, tundukkan muka kalian, dan bekerjalah dengan benar. Jika tak mengerti caranya, bertanyalah. Jangan pelihara keangkuhan di atas kegagalan demi kegagalan yang sudah tercatat dalam buku sejarah.

Audited pula.

Mardhani, Jilal -- 13 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun