Sebagai alumni, saya memang pernah diminta -- lalu bersedia -- mencantumkan nama pribadi pada sebuah petisi untuk menyatakan penolakan terhadap Din Syamsuddin. Saat yang bersangkutan 'dicalonkan' menjadi anggota Majelis Wali Amanat, ITB, beberapa waktu lalu.
Faktanya beliau kemudian terpilih.
Menyatakan pendapat adalah hak pribadi siapa saja. Bahwa kemudian tidak digubris atau kalah suara, adalah satu hal. Kemudian yang berlaku berbeda dengan keberatan yang disampaikan, adalah hal lain. Sebagaimana ketika Joko Widodo dan pasangan yang mendampinginya, terpilih memimpin Indonesia hari ini. Padahal hampir setengah pemilih, tak menghendaki mereka. Tapi sebagai masyarakat yang beradab, menghormati proses demokrasi, dan mematuhi hukum yang berlaku, semua pihak mesti menerima kenyataan tersebut.
Hal yang sangat mengecewakan pada sebagian masyarakat berpendidikan yang mengaku sebagai alumni ITB, nama saya kemudian berulang kali mereka catut, pada dokumen yang menyatakan tuntutan agar Din Syamsuddin dicopot dari kedudukannya pada Majelis Wali Amanat (MWA-ITB).
Bagaimana pun, hal itu sungguh tak pantas, menyedihkan, sekaligus memalukan. Apalagi, pada dokumen Siaran Pers tanggal 16 Juli 2020 yang salinannya saya peroleh, ada nama-nama yang sudah tak dicantumkan lagi di sana. Padahal pada dokumen sejenis yang beredar sebelumnya dan tak pernah saya setujui juga itu, sosok yang kini bekerja di lingkungan Istana Kepresidenan tersebut, namanya masih ada.
Jika penyusun Siaran Pers yang membajak nama saya di sana, bisa melakukan konfirmasi kepada sang pejabat sehingga namanya tak ikut dicantumkan lagi, mengapa hal yang sama tak dilakukan juga kepada diri saya atau yang lain?
Saya menolak Din Syamsuddin ketika akan dicalonkan menjadi anggota Majelis Wali Amanat. Tapi saya tidak pernah dihubungi -- apalagi memberikan pesetujuan -- terhadap pernyataan yang meminta MWA ITB dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera memberhentikan Prof.Dr. M. Din Syamsuddin sebagai anggota MWA ITB.
***
Akhir-akhir ini, di tengah kegamangan dan kekacauan pemerintah menangani pandemi Covid-19 -- juga berbagai absurditas tata kelola yang terjadi di berbagai sektor kegiatan mereka -- issue 'kadrunisasi' sering mengemuka kembali.
Jika hal tersebut merupakan 'cara' untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kekecewaannya yang semakin meluas -- yakni terhadap kompetensi pemerintah dalam menjalankan fungsi sesuai dengan tugas dan tanggung-jawab yang mereka emban -- tentulah sangat patut untuk kita sesali. Bahkan amat pantas dikutuk bersama.
Cara dan upaya 'kadrunisasi' tersebut -- baik dalam rangka menutupi ketidak mampuan dalam melakoni tugas pokok dan fungsi, maupun untuk 'membungkam' suara-suara kritis yang berkumandang semakin nyaring -- sesungguhnya hanya menyempurnakan perpecahan semata. Justru di tengah situasi sekarang, bangsa ini mestinya semakin bersatu dan saling tolong-menolong. Agar kita bersama-sama dapat menghadapi dan menyelesaikan persoalan pelik terkait wabah pandemi virus corona yang sedang berlangsung.