Covid-19 telah lama menebar cemas. Hingga akhirnya pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020 lalu.
Sekarang bukan waktunya melontarkan penyesalan maupun caci-maki terhadap kelambanan pemerintahan Joko Widodo mengantisipasi wabah ini. Sebaiknya kita fokus pada upaya orkestrasi sumberdaya yang tersedia untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Termasuk hal-hal yang diluar dugaan dan tak pernah kita harapkan.
Perkembangan Penelitian
Hal yang sering terjadi di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat kita ketika menghadapi masalah adalah mencari 'kambing hitam'. Disebabkan oleh miskinnya pengetahuan dan kebiasaan malas untuk mempelajari maupun meneliti akar masalah. Termasuk pada pandemi virus corona saat ini.
Di berbagai percakapan media sosial, beredar aneka tudingan konspirasi terkait asal-muasal virus tersebut. Berbagai 'teori' konspirasi dikembangkan untuk menyesuaikan jalan cerita yang ingin diyakinkan.
Cina sebagai negara yang pertama tertimpa musibah ini, telah bergerak cepat secara terstuktur dan masif. Selain upaya untuk meredam jumlah korban dan luas wilayah penyebarannya, segera setelah epidemi merebak di sana, mereka langsung mengerahkan para cerdik-cendikia untuk mempelajari dan memahami virus tersebut.
Genom sequence data yang mereka pelajari kemudian diberikan kepada berbagai lembaga penelitian seluruh dunia sehingga bisa segera dipelajari secara bersama.
Maka pada tanggal 17 Maret 2020 lalu, sekelompok peneliti dari berbagai negara -- diantaranya Robert F. Garry dari Tulane University, Edward Holmes dari University of Sydney, Andrew Rambaut dari University of Edinburgh, dan W. Ian Lipkin dari Columbia University -- mempublikasikan temuan mereka melalui makalah ilmiah di Jurnal Natural Medicine.
Sejauh ini, hasil penelitian yang mereka lakukan menyimpulkan, bahwa SARS-CoV-2 merupakan buah dari proses evolusi alamiah semata. Dia adalah bagian dari keluarga virus yang menyebabkan sejumlah wabah sebelumnya. Sebagaimana SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang juga menjangkit di Cina sekitar 17 tahun lalu (2003). Maupun sindroma MERS (Middle East Respiratory Syndrome) di Arab Saudi 9 tahun setelahnya (2012).
Menghindari Kambing Hitam
Sebetulnya, jika kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki, belum memungkinkan untuk terlibat aktif melakukan penelitian seperti sekelompok cerdik-cendikia di atas, pemerintah tetap perlu mengerahkan dan memfasilitasi ilmuan dan para ahli bidang terkait yang dimiliki, untuk turut serta ambil bagian. Paling tidak, memantau kegiatan yang dilakukan para sejawatnya sehingga dapat menyebar-luaskan setiap perkembangan yang terjadi kepada kita semua.
Dengan demikian, masyarakat luas dapat meningkatkan pengetahuan tentang hal yang sebenarnya terjadi. Bukan bergunjing dan menyebar-luaskan tudingan-tudingan yang tak bertanggung jawab. Bahkan cenderung didasari kebencian dan putus asa semata.
Langkah pemerintah untuk ambil bagian dalam upaya menyebar-luaskan perkembangan kegiatan penelitian ilmiah terkait Covid-19 ini, sesungguhnya merupakan hal yang paling mendesak dan perlu disegerakan.
Sebaiknya janganlah menyampaikan asumsi dan perkiraan-perkiraan tanpa pertanggung jawaban ilmiah. Seperti proyeksi jumlah kasus terpapar yang bakal kita hadapi maupun perkiraan kapan saat puncak wabah virus corona bakal berlangsung di negeri kita. Sebab, belum satupun ilmuwan di seluruh dunia sekarang ini yang mampu mengindentifikasi perkembangan dan pengendaliannya.