Pemerintah Indonesia memang kedodoran menghadapi wabah corona virus ini. Koordinasi kacau balau. Pemaknaan diseminasi dan keterbukaan informasi, centang-prenang. Bahkan bertebaran salah kaprah.
Jika di tingkat pusat kekuasaan saja sudah begitu. Bagaimana kita berharap pada lingkup daerah lebih kecil?
Sebab, ketergantungan mereka pada dukungan yang jadi kewenangan pusat begitu tinggi. Mulai dari pengadaan perlengkapan laboratorium, sumber daya manusia yang dikategorikan mampu melakukan, hingga data dan informasi yang dapat digunakan untuk mengupayakan analisis yang dibutuhkan.
+++
Kekacauan diperparah oleh kemajuan teknologi internet dan perangkat komunikasi. Karena memungkinkan siapa pun menebarkan kabar, pandangan, serta pendapat apa pun.
Dampaknya memang bergantung pada kedewasaan, pengetahuan, dan kecerdasan masyarakat luas yang menerima semua itu. Tapi dengan tingkatan rata-rata yang ada, urusan subyektivitas berkembang begitu dominan.
Hal yang kemudian menyebabkan "kenakalan" pihak-pihak tertentu mengalihkan issue pada hal tak penting, semakin leluasa.
Contoh gamblang adalah berkembangnya "tudingan" media massa yang cenderung melebih-lebihkan pemberitaan sehingga menyebabkan kepanikan publik.
Tapi generalisasi yang berkembang justru merugikan masyarakat luas. Sebagian di antara mereka yang sudah "termakan hasutan dan fitnah" yang melabel media tertentu sebagai partisan -- meski kredibilitas media-media tersebut sesungguhnya telah teruji puluhan tahun dan berita-beritanya justru sering mencerahkan publik -- seperti menemukan momentum untuk menumpahkan kekesalan sambil 'memelihara' kefrustasiannya.
Issue kemudian bergeser. Bukan tentang kemampuan kekuasaan menanggapi hingga mengelola wabah, yang di berbagai belahan dunia lain telah menjadi kepanikan nasional.
Tapi soal "tudingan murahan dan tak penting" yang justru dapat mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kekacauan dan inkapabilitas pemerintah melakukan fungsinya. Terutama dalam menghadapi wabah Covid-19 yang kemarin malam telah ditetapkan WHO sebagai pandemik.
+++
Itulah sebabnya kemarin saya menuliskan artikel Virus yang Maha Dahsyat. Tentang persoalan besar yang merobek semangat persatuan-dan-kesatuan dan saat ini sedang menggejala makin parah di tengah kita.
Salah satu tanda-tandanya adalah gejala sebagaimana uraian di atas tadi.
Gejala lain adalah hilangnya kepercayaan satu dengan yang lain. Bahkan kepada pemerintah yang berkuasa.
Bahwa pada kenyataannya tidak semua masyarakat percaya dan mendukung kekuasaan, adalah satu hal. Kritik dan ketidaksetujuan mereka terhadap langkah-langkah pemerintah, memang dibenarkan secara konstitusional. Tentu saja sepanjang dilakukan sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang berlaku.
Tapi pernyataan liar, sebagaimana disampaikan pembicara yang disebut Rosiana Silalahi sebagai pakar saat mendiskusikan topik Pemberitaan Media Soal Corona Menakutkan, Benarkah? di Kompas TV beberapa waktu lalu, justru jauh lebih menakutkan.
Sebab, di sana pakar tersebut sekonyong-konyong menyatakan bahwa "pemerintah sekalipun belum tentu benar sehingga tak selalu harus diikuti."
Ungkapan tersebut, walau dalam konteks diskusi yang saat itu berlangsung, amat-sangat tidak pantas dan tidak layak diucapkan. Lebih parah lagi karena Rosi sebagai pembawa/moderator acara, membiarkannya sebagai "pernyataan liar" tanpa klarifikasi lebih lanjut hingga acara berakhir.
+++
Gejala kekacauan dan runtuhnya keimanan kita terhadap persatuan-dan-kesatuan semakin diperparah dengan merapuhnya etika untuk saling menghargai dan menghormati sejawat profesi.
Mungkin karena Joko Widodo sebagai presiden, tak mampu menunjukkan keteladanan, saat mengangkat Terawan sebagai Menteri Kesehatan RI kemarin.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, sebetulnya telah menyurati beliau untuk tak mengangkat Terawan Agus Putranto. Sebab yang bersangkutan telah mereka tetapkan melakukan pelanggaran etika profesi.
Bisik-bisik di antara sejawat profesi sebetulnya hal manusiawi dan wajar belaka. Tapi ketika seorang jurnalis senior dengan segudang pengalaman yang mengundang decak kagum di dalam maupun luar negeri, sampai perlu menyampaikan pernyataan terbuka berupa himbauan kepada publik untuk tak menyaksikan suatu tayangan yang diasuh teman sejawatnya, adalah tanda yang sangat mengkhawatirkan dari runtuhnya keimanan kita pada persatuan dan kesatuan tersebut.
+++
Maka kita tak perlu heran jika tak satu pun media hari ini memberi perhatian secara komprehensif dan terintegrasi terhadap persoalan corona virus yang sudah dinyatakan pandemik itu.
Saya capture tayangan televisi di negeri kita pagi ini. Sebagian besar tak memberikan ruang memadai bagi diseminasi informasi wabah tersebut. Mereka malah sibuk dengan tayangan remeh-temeh yang dalam konteks kekinian sesungguhnya nirmutu.
Pagi tadi, mereka mempertanyakan dengan sangat kritis dan tajam, keputusan Trump yang menutup penerbangan dari Eropa ke USA selama 30 hari ke depan.
Mereka -- terutama pada acara yang dibawakan Don Lemon yang saya saksikan tadi -- mempertanyakan putusan sewenang-wenang tersebut. Sebab, menurutnya, selama ini Trump tak cukup bijak menyikapinya. Termasuk informasi-informasi kurang tepat -- bahkan keliru -- yang selalu diutarakan sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman dan pemahaman pribadi saya, gejala ketidakpedulian atau sikap berjarak media-media kita terhadap pemberitaan wabah kali ini, tak terlepas dari kekhawatiran mereka menjadi korban perundungan publik.
Sebab, berbagai preseden telah membuktikan, keinginan untuk menegakkan tugas dan fungsi mereka sebagai pilar keempat demokrasi, justru bisa berbalik menyakitkan.
Terutama ketika pemberitaan yang disajikan dianggap sebagian kalangan "berbayar", sebagai kritik yang "memojokkan penguasa atau pembayarnya". Betapapun benarnya berita itu.
Pagi tadi, Don Lemon di CNN menyampaikan pertanyaan maupun pernyataan yang begitu keras kepada John Kasich. Mantan Gubernur Ohio dari partai Republik -- tentunya sekubu dengan Donald Trump -- yang diwawancarainya.
Cara Don Lemon tersebut sesungguhnya membuka wawasan bagi pemirsa CNN, tentang apa yang sedang berlaku di sana. Baik yang mendukung Republik, Demokrat, bahkan yang tak memilih atau golput.
Mardhani, Jilal
12 Maret 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI