Bergantung jarak dan volume penyerapannya.
Sebetulnya, sangat mungkin penjualan bensin di ujung timur pulau Madura --- atau kota Sigli yang terletak 112 kilometer di selatan Banda Aceh --- secara satuan juga merugi karena biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk mengelola logistik dan pendistribusiannya ke sana, ditambahkan dengan harga pokok per liter, lebih besar dibanding harga penjualan eceran yang ditetapkan.
Tapi kedua daerah tersebut terpisahkan jarak yang sangat mudah dijangkau pusat kekuasaan. Pejabat yang dulu ditempatkankan pemerintah di perusahaan tersebut, menutup matanya atas kerugian penjualan di sana. Toh secara agregat, ketika harga minyak dunia sedang rendah tak melonjak seperti sekarang, penjualan bahan bakar penugasan itu tetap masih menguntungkan.
Presiden Joko Widodo yang sejak awal pemerintahannya menaruh perhatian lebih terhadap kehidupan masyarakat di sana, segera menyadari kekeliruan itu. Maka atas nama keadilan sosial bagi masyarakat di sana, selaku pemimpin tertinggi pemerintah Indonesia yang merupakan "nominee" pada badan usaha milik Negara itu, beliau segera menetapkan kebijakan harga eceran sama dan memerintah pelaksanaannya. Sebagaimana perumpamaan di ujung timur pulau Madura maupun Sigli yang terletak lebih dari 100 kilometer di selatan Banda Aceh di atas, Pertamina harus bersedia menanggung biaya subsidi yang dikeluarkan.
Pertamina tak boleh menganggap dirinya perusahaan komersial penuh dan seenaknya menetapkan tingkat keuntungan dari penjualan bahan pokok yang dibutuhkan seluruh masyarakat. Dia adalah milik Negara yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia. Tak pantas jika ada sebagian kecil diantaranya tak menikmati kemewahan yang sama dengan yang lain. Toh kebijakan tersebut tak menyebabkan badan usaha itu merugi. Apalagi bankrut. Hal yang terjadi --- ketika harga beli minyak mentah yang menjadi bahan bakunya memang lebih rendah dulu --- keuntungan yang semestinya diperoleh hanya berkurang sedikit dan perlu diikhlaskan Negara.
Dalam hal ini, kapitalisme Negara pada BUMN Pertamina seperti yang ditengarai Faisal Basri, memang tepat sasaran dan bermanfaat --- jika dan hanya jika --- "nominee" dari pemegang sahamnya bersikap "amanah".
+++
Persoalannya tak semua terjadi demikian. Peluang penyelewengan sebagai "nominee" pemegang saham pada badan-badan usaha yang dimiliki Negara, sejatinya selalu terbuka lebar dan menggoda. Itu sebabnya terkuak kabar dugaan penyuapan yang dilakukan Emirsyah Satar, terkait pengadaan pesawat dan mesinnya dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C saat dia memimpin PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Begitu pula yang terjadi pada proyek pembangkit listrik di Sumatera yang menyeret sejumlah petinggi Golkar hingga Idrus Marham mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial beberapa saat sebelum dikenakan rompi orange KPK.
Diberitakan oleh Majalah Tempo edisi awal September 2018 kemarin bahwa pekerjaan yang berada di bawah kewenangan PT PLN (Persero) tersebut --- badan usaha strategis lainnya milik Negara --- merupakan "jatah" partai bermasalah warisan Orde Baru tersebut.
Kita semua memahami betapa banyak kasus penyelewengan yang berlangsung di lingkungan badan-badan usaha yang menjadi bagian dari kapitalisme negara selama ini. Bukan iktikad penguasaannya yang jadi persoalan. Tapi tentang ketentuan, tata laksana penetapan, hingga mandat yang dihibahkan kepada "nominee" yang mewakili Negara selaku pemegang saham di sana.