Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Mencari Alternatif Kebijakan Selain Ganjil Genap pada Asian Games XVIII, Mengapa Tidak?

2 Juli 2018   14:13 Diperbarui: 2 Juli 2018   17:34 3223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan Ganjil Genap Asian Games XVIII, Koran Tempo 2-7-2018

Siapapun tentu menginginkan Asian Games XVIII yang diselenggarakan mulai bulan depan itu berlangsung sukses. Keputusan "ramah-tamah berlebihan" Indonesia tersebut berbiaya sangat mahal. 

Tak sedikit anggaran yang diprioritaskan untuk membangun berbagai prasarana dan sarana yang dibutuhkan untuk menyukseskan pesta yang jadwalnya justru dimajukan setahun lebih cepat itu. Bukan hanya untuk membangun dan mempercantik gelanggang bagi para atlet puluhan negara Asia yang mestinya ---sebelum mereka menyatakan diri menyerah--- bertanding di Vietnam tersebut. Tapi juga fasilitas pemondokan atlet. Bahkan infrastruktur untuk menunjang kelancaran transportasinya.

Sebelumnya ---di penghujung kekuasaan Bung Karno yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945--- kita juga pernah menjadi tuan rumah Asian Games (1962). Ketika itu, lahan untuk menunjang perhelatan olahraga akbar sejenis, dialokasikan negara di kawasan Senayan. 

Di masa pemerintahan Soeharto, sebagian lahan itu kemudian beralih fungsi untuk berbagai kegiatan komersial yang tak berkait dengan olahraga. Mulai dari pusat perbelanjaan mewah, gedung perkantoran, hingga apartemen bagi golongan masyarakat atas. 

Walau mungkin kepemilikan lahannya tetap pada negara, tapi secara fungsional sesungguhnya tak lagi bermanfaat untuk menunjang perhelatan olahraga yang diselenggarakan di sana. Dampak itu kita "nikmati" sekarang. Pemerintah terpaksa membangun wisma yang diperuntukkan demi menampung atlet berbagai negara ---seperti yang dijamu pada Asian Games kali ini--- di kawasan Kemayoran yang terpisah jarak sekitar 20 Km.

Indonesia memang luas. Lahannya banyak. Tapi organisasi internasional yang berwenang terhadap perhelatan pesta olahraga seperti Asian Games, semakin hari semakin menyempurnakan prasyarat dan syarat yang harus dipenuhi tuan rumah penyelenggara. Salah satunya adalah waktu tempuh yang diperkenankan bagi perjalanan atlet dari pemondokan hingga gelanggang tempatnya bertanding. 

Pemerintahan Joko Widodo tentulah menyadari hal itu. Kebijakan "mendadak" membangun jaringan infrastruktur LRT (light rail transit) yang membelah Jakarta dari Cibubur dan Bekasi, semula direncakankan sebagai salah satu jawabannya. Proyek yang sejak semula memang diharapkan selesai sebelum Asian Games 2018 dimulai. 

Tapi ternyata berbagai kendala telah menyebabkannya tertunda. Joko Widodo pun terpaksa memaklumi molornya penyelesaian proyek yang mengorbankan kenyamanan warga Jakarta itu hingga tahun 2019 mendatang. Bagaimana pun kita tentu berharap pembangunan infrastruktur yang heboh tersebut (sebab bukan hanya soal Keputusan Presiden yang menaunginya berulang kali berubah tapi juga soal skenario pembiayaannya yang tambal sulam) kelak dapat berperan mengurai kemacetan Ibu Kota Republik Indonesia yang sudah sangat gawat ini.

***

Saya diundang resmi Kepala BPTJ (Badan Pengelola Tranportasi Jabodetabek) untuk turut urun rembug dan menyumbang saran saat mereka ingin mempersiapkan kebijakan terkait aspek transportasi bagi para atlet dan official pendukung negara-negara peserta Asian Games kali ini. 

Tentunya dalam rangka membahas skenario, rencana, dan strategi memenuhi syarat waktu tempuh maksimal 30 menit yang harus dicapai panitia penyelenggara dalam melayani perjalanan atlet dari pemondokan ke gelanggang olahraga. Gagasan perluasan ganjil-genap ---maksudnya hanya kendaraan dengan nomor ganjil/genap yang diperkenankan melintas pada tanggal ganjil/genap--- tersebut telah mereka cetuskan sejak pertemuan awal kami yang berlangsung sekitar 2-3 bulan lalu.

Kebijakan Ganjil Genap Asian Games XVIII, Koran Tempo 2-7-2018
Kebijakan Ganjil Genap Asian Games XVIII, Koran Tempo 2-7-2018
Siapapun yang memahami bidang keahlian rekayasa transportasi, mestinya akan terperanjat dengan gagasan itu. Kebijakan pembatasan lalu lintas ganjil-genap bukan hanya diperluas secara wilayah cakupan. Tapi juga masa efektif pemberlakuannya. Sementara, tak ada pengembangan maupun gagasan yang berarti dalam hal penyediaan layanan alternatifnya. 

Setiap kebijakan yang berkait dengan keberlangsungan transportasi kota sejatinya memang harus disertai dengan kajian yang menyeluruh dan terpadu dari berbagai aspek. Sebab, sebagian besar aktivitas perjalanan masyarakat perkotaan yang berlangsung sehari-hari adalah keniscayaan. 

Hal yang harus bahkan wajib mereka lakukan. Bukan berupa suatu kemewahan atau aktivitas iseng belaka. Misalnya pada mereka yang melakukan perjalanan untuk bekerja, ke sekolah, atau belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, dalam kondisi apa pun dan bagaimana pun, sebagian besar perjalanan yang dilokoni masyarakat perkotaan tersebut memang tak mungkin dihindari sebagai bagian utama dari kehidupannya.

Maka sejak pertemuan paling awal ketika menghadiri undangan tersebut, hal pertama yang saya sampaikan adalah ketersediaan data lalu-lintas harian pada ruas-ruas jalan yang menghubungkan hunian para atlet dengan gelanggang-gelanggang olahraga yang akan mereka gunakan.

Termasuk profil detail dari prasarana jalan-jalan rayanya. Sebab, persoalan yang harus dicermati memang bukan soal perencanaan transportasi di masa depan. Tapi adalah hal yang berkaitan dengan rekayasa lalu-lintas yang dapat dan mungkin dilakukan segera untuk mengantisipasi kebutuhan Asian Games XVIII.

Salah seorang pejabat yang hadir pada pertemuan tersebut menyatakan data yang saya mintakan ada dan dapat disediakan. Katanya, mereka memiliki rekamanan CCTV (close circuit television) yang dapat diuraikan dengan menggunakan software tertentu. Konon sudah ada yang mampu menyediakannya.

***

Pada pertemuan-pertemuan berikut, saya selalu menanyakan terlebih dahulu informasi dasar yang dibutuhkan tadi. Alih-alih menyediakannya, mereka justru terlihat "sangat progresif" dengan rancangan kebijakan pembatasan lalu lintas "ganjil-genap" yang hari ini ternyata mulai diuji-cobakan itu. Juga tentang pemberlakuan pembatasan lalu-lintas di jalan-jalan tol. Termasuk penutupan sejumlah akses keluar-masuknya.

Saya yang hadir pada sejumlah pertemuan resmi yang mereka selenggarakan tersebut menduga, kebijakan itu dirancang dalam suasana panik yang tak perlu. Juga tidak disertai dengan pertimbangan obyektif yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Paling tidak dalam hal risiko, manfaat, dan peluang sukses yang bakal dicapai.

Maka pada saat koordinasi terakhir yang saya hadiri dan diikuti oleh sejumlah pimpinan lembaga terkait ---di antaranya Kepala Dinas Perhubungan DKI dan Direktur INASGOC yang bertanggung jawab pada bidang transportasi atlet ---saya mengajukan pertanyaan paling pokok yang mestinya terjawab dalam setiap kali sebuah keputusan akan diambil: "Bagaimana skenario alternatif lain yang telah dikaji sehingga kebijakan ganjil-genap menjadi pilihan terbaik?"

Tak ada!

Sejak saat itu, saya hanya sekali lagi bertemu dengan Kepala BPTJ dan sejumlah staf beliau di kantornya. Pada kesempatan itu pun saya masih berupaya meyakinkannya untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap kebijakan yang diduga sangat riskan tersebut. Termasuk skenario alternatifnya. 

***

Jika masyarakat Jakarta hari ini semakin tidak tertarik menggunakan angkutan umum massal yang disediakan (baik oleh pemerintah maupun swasta) sesungguhnya adalah konsekuensi logis semata. 

Layanan angkutan umum massal Jakarta dan sekitarnya sejak dahulu kala memang sangat buruk. Walaupun dalam hal tertentu dan mikro telah mencapai kinerja significant, upaya pembenahan yang dilakukan ---seperti penyediaan Transjakarta (Bus Rapid Transit) dan KRL (kereta rel listrik)--- belum banyak berarti dalam mempengaruhi layanan transportasi bagi masyarakatnya.

Sekitar 500 ribu penumpang yang diangkut Transjakarta (ditambah 1,1 juta penumpang KRL, dan 2 juta penumpang angkutan umum lain) tak banyak berarti terhadap sekitar 50 juta perjalanan yang dilakukan masyarakat Jabodetabek setiap hari. Artinya, tak sampai 8 persen perjalanan yang dapat dilayaninya.

Itulah alasan utama mengapa jumlah perjalanan yang menggunakan moda sepeda motor dan mobil terus meningkat dan merajai jalan-jalan raya hari ini.

Untuk memahami kerumitan rekayasa transportasi di Jabodetabek ini, setidaknya ada 3 latar belakang paling mendasar yang layak dicermati:

Pertama, perkotaan metropolitan Jakarta tidak pernah berkembang atau dikembangkan sejalan dengan perencanaan transportasi yang memadai. Sebab perkembangan kawasan-kawasannya selalu diinisiasi, bahkan dikendalikan, oleh para pengembang swasta sesuai lahan yang mereka kuasai.

Dengan kata lain, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pemerintah memang selalu tertinggal jauh di belakang dalam hal penyediaan prasarana dan sarana untuk melayani kebutuhan transportasi umum. Karena aktivitas perjalanan sehari-hari adalah niscaya maka masyarakat tentu berinisiatif untuk mengadakannya sendiri. 

Itulah sebabnya laju kepemilikan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil, meningkat jauh lebih pesat dibanding penduduknya. Sebab hal tersebut berkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Menyingkir dari layanan transportasi umum yang buruk adalah cita-cita pertama sebagian besar masyarakat untuk meningkatkan "kualitas" hidupnya.

Kedua, soal pedestrian atau sarana bagi pejalan kaki
Layanan angkutan umum massal tak mungkin berhenti tepat di depan tempat asal maupun tujuan masyarakat yang ingin menggunakannya sebagai fasilitas perjalanan. Mereka terlebih dahulu harus menempuh jarak tertentu untuk menuju perhentian pada lintasan angkutan umum yang tersedia. Begitu pula ketika turun dan menuju lokasi tujuan perjalanannya. 

Kesalah kaprahan paling besar dalam perkembangan kota Jakarta dan wilayah sekitarnya adalah dalam hal kebijakan fasilitas pedestrian. Dari lebih 6 ribu kilometer jaringan jalan rayanya, tercatat hanya sekitar 500 Km atau 8,6 persen yang dilengkapi dengan fasilitas trotoar. Itu pun dengan bermacam kualitas, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Padahal, berjalan kaki menuju perhentian angkutan umum adalah hal yang mutlak.

Bagaimana mungkin minat masyarakat menggunakan layanan angkutan umum massal meningkat jika ketika baru keluar dari kediamannya saja sudah tak nyaman bahkan menderita?

Ketiga, tentang layanan pengumpan atau feeder service
Keterbatasan anggaran dan kemampuan menata kota yang kacau balau menyebabkan Jakarta tak mampu mengembangkan jaringan jalan yang memadai. Secara fungsional, banyak yang sesungguhnya termasuk kategori jalan lingkungan, diperlakukan masyarakat sebagai kolektor.

Demikian pula jalan-jalan kolektor yang beralih fungsi layaknya jalan arteri. Ruasan jalan-jalan tersebut, termasuk jalan arterinya, memang banyak yang tak dirancang sejak semula untuk menjadi bagian lintasan utama angkutan umum massal. Akibatnya, dipaksakan bagaimanapun, lintasan-lintasan angkutan umum massal yang mampu menyediakan kapasitas angkut besar seperti BRT, tentunya sangat terbatas.

Tentu saja, sebagian besar masyarakat membutuhkan layanan pengumpan (feeder service) untuk menjangkaunya. Hal inilah yang hingga hari ini belum tersentuh secara memadai sehingga jumlah pengguna BRT (Transjakarta), meskipun telah beroperasi pada 13 koridor pelayanan, jauh di bawah kapasitas angkut yang disediakannya.

***

Apakah kebijakan pembatasan lalu lintas ganjil-genap ini secara agregat akan berhasil?

Saya meragukannya. 

Paling tidak, imbas pertama adalah dalam hal dukungan dan simpati masyarakat. Terlalu banyak pengorbanan yang harus mereka lakukan. Apakah kebijakan tersebut adalah yang terbaik untuk menjamin kelancaran perjalanan sekitar 15 ribu atlet dan official negara-negara peserta Asian Games dari pemondokan mereka ke stadion-stadion olahraganya?

Tentu sangat berlebihan jika 15 ribu tamu yang ingin berlalu lalang, harus mengorbankan jutaan perjalanan "wajib" yang dilakukan masyarakat sehari-hari. Data yang saya pernah saya peroleh dari salah seorang staf BPTJ menunjukkan, hari ini setidaknya sekitar 20 juta perjalanan berlangsung di dalam wilayah administrasi DKI Jakarta. 

Jika wilayah Ibu Kota tersebut di bagi ke dalam 8 zona besar, di antaranya pusat kota, sekitar pusat kota (intra urban), selatan, tenggara, barat, timur, utara (Pluit dan Ancol), dan pelabuha. Sekitar 2/3 atau lebih perjalanan berlangsung di dalam zona-zona itu. Sementara kebijakan pembatasan lalu lintas ganjil-genap (walaupun hanya melintas pada sebagian kecilnya) tentu akan berpengaruh pada mobilitas mereka.

Jaringan prasarana jalan di masing-masing zona yang tak terkena kebijakan ganjil-genap, tentu akan dipadati kendaraan yang melintas karena mencari rute alternatif. Sementara, sebelum kebijakan tersebut diberlakukan pun, jalan-jalan raya itu sudah padat dan kerap macet.

Pihak yang berwenang (sesuai dengan pemberitaan pada Koran Tempo beberapa hari terakhir ini) memang merencanakan penambahan armada bus (204 siaga mengangkut masyarakat yang terkena dampak dan 76 yang melintasi lokasi pertandingan. Dilansir dariKoran Tempo, 26 Juni 2018) pada koridor-koridor Transjakarta. Tapi, berapa banyak yang mampu diangkut armada tersebut selama kebijakan ganjil-genap yang berlangsung Senin hingga Minggu, dari jam 6:00 pagi hingga 9:00 malam itu?

Jika sekitar 1.100 armada busway pada koridor-koridor yang ada, plus sejumlah rute angkutan perbatasannya yang terintegrasi, hanya mampu melayani sekitar 500-600 ribu penumpang, berapa kira-kira jumlah yang terlayani dengan tambahan sekitar 280 bus tersebut?

Mari kita berhitung sederhana saja.

Trip Attraction by Zone in DKI Jakarta (pribadi)
Trip Attraction by Zone in DKI Jakarta (pribadi)
Trips to Urban Center DKI (pribadi)
Trips to Urban Center DKI (pribadi)
Trips to Intra Urban DKI (pribadi)
Trips to Intra Urban DKI (pribadi)
Trips to South DKI (pribadi)
Trips to South DKI (pribadi)
Setengah (diasumsikan jumlah kendaraan dengan nomor ganjil dan genap terdistribusi sempurna) dari 19,5% (15% pengguna mobil dari 77% yang menggunakan kendaraan) perjalanan yang menuju kawasan pusat kota (urban center) dan pinggir pusat kota (intra urban) adalah 597 ribu dan 119 ribu. Jika pulang-pergi, total perjalanan yang harus dilayani sekitar 1,4 juta. Mampukah alternatif tambahan armada yang akan disediakan nanti, melayani kebutuhan perjalanan sehari-hari mereka?

Hal tersebut belum mempertimbangkan angkutan pengumpan yang dibutuhkan agar memudahkan mereka yang dipaksa beralih ke layanan angkutan umum massal Transjakarta tersebut, menjangkau halte-halte atau tempat-tempat perhentian yang disediakan. Begitu pula dengan buruknya kondisi fasilitas pedesterian dari lokasi asal maupun ke tujuan akhir perjalanan mereka.

Sebanyak 15 ribu atlet dan official yang ingin kita jamu tersebut tentu tak setiap saat berlalu-lalang di jalan-jalan raya yang menerapkan kebijakan ganjil-genap itu. Juga di lintasan khusus yang katannya ingin disediakan pada sejumlah ruas jalan tol. Tidakkah terbayang kedongkolan publik yang menyaksikan ruang-ruang kosong di sana, saat mereka terjebak kemacetan nanti?

Hal kedua, wilayah cakupan kebijakan ganjil-genap yang diterapkan sangat luas dibanding sebelumnya yang hanya di Jalan Sudirman-Thamrin. Rentang waktunya juga sehari penuh, dari jam 6:00 pagi hingga 21:00 malam. Yakni ketika 85% perjalan sehari-hari masyarakat umumnya berlangsung. Pertanyaannya, berapa banyak petugas yang harus ditempatkan di lokasi-lokasi yang agar ketertiban masyarakat mematuhi kebijakan tersebut sungguh-sungguh berlangsung?

Jika tetap dipaksakan, hal yang justru dikhawatirkan adalah berkembangnya "kreativitas nakal" untuk menyiasati. Sulit dihindari jika banyak yang memiliki gagasan untuk mengganti nomor kendaraan (palsu) sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Hal ini tentu sangat merepotkan. 

Hal ketiga, adalah ketertiban pada jalan-jalan raya yang tidak diberlakukan kebijakan ganjil-genap. Tapi justru menjadi alternatif lintasan. 

Kurang lebih setengah perjalanan sehari-hari masyarakat Jakarta hari ini menggunakan sepeda motor. Kita maklum, dan sehari-hari sudah mengalaminya, persoalan ketertiban para pengendara sepeda motor memang sangat memprihatinkan. Mereka telah membangun berbagai kebiasaan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan kaidah maupun prinsip dasar ketertiban berlalu-lintas.

Kepadatan mobil pribadi yang semakin tinggi dan terjadi di jalan-jalan alternatif setelah kebijakan ganjil-genap itu, tentu akan memperparah keadaan. Kehadiran petugas untuk menjaga ketertibannya sangat dibutuhkan. Apakah instansi terkait kelak masih mampu menyediakan dan menanganinya sementara kebutuhan untuk memastikan kebijakan ganjil-genap terlaksana saja sudah demikian besar?

Hal yang mengherankan, justru kebijakan terkait pembatasan pengendara sepeda motor hampir tak disentuh sama sekali. Padahal, inilah salah satu sumber permasalahan transportasi kota hari ini. 

Saya tak tahu apakah di balik kebijakan penerapan ganjil-genap bagi kendaraan mobil pribadi tersebut, terselip pertimbangan yang populis. Bagaimanapun, karena mereka tetap terimbas implikasi kebijakan tersebut, sangat mungkin pemerintah juga tak mudah mendapat dukungan dan simpati dari mereka.

Ketegangan horizontal antara pengendara mobil dan sepeda motor bahkan mungkin saja terjadi. Sebab, bagi mereka, pengendara mobil-mobil pribadi yang memilih memadati rute alternatif dibanding menggunakan layanan angkutan umum massal, adalah kelompok yang mengganggu kenyamanan berkendaraannya.

***

Absurditas kebijakan ganjil-genap tersebut sesungguhnya sangat dirasakan pada kawasan Pondok Indah. Lokasi pertandingan olahraga utama yang ingin dilayani adalah Pondok Indah Golf. Kita maklum, jumlah atlet yang bertanding setiap harinya dalam 1 lapangan golf yang memiliki 18 lubang, tak mungkin mencapai 150 peserta. Kemungkinan besar kurang dari jumlah tersebut. 

Pertanyaannya, layakkah 150 atlet yang perlu berlalu-lalang dari Kemayoran ke Pondok Indah, meminta pengorbanan ribuan masyarakat yang sehari-hari perlu dan harus menggunakan jalan rayanya?

Alternatif Rute Asian Games XVIII (pribadi)
Alternatif Rute Asian Games XVIII (pribadi)
Meskipun data yang pernah diminta tak tersedia, saya pernah menyarankan untuk mempelajari alternatif rute yang melintas perkotaan Jakarta yang memang padat seperti pada gambar di bawah ini. Bagaimanapun ketat dan eksklusifnya kebijakan tersebut, diperkirakan memberi imbas yang jauh lebih kecil dan "manageable" dibanding gagasan ganjil-genap yang masif secara wilayah cakupan dan rentang waktu pelaksanaan itu. Bahkan jika perlu, kebijakan untuk mensterilkan lintasan alternatif yang diusulkan dari pengendara apapun (khususnya saat rombongan atlet akan melewatinya) sangat dimungkinkan.

Jumlah petugas yang dibutuhkan juga dapat diminimalisasi. Sementara fleksibilitas dan kelonggaran masyarakat untuk menyesuaikan diri tentu saja jauh lebih luas.

Seandainya kebijakan ganjil-genap ingin dilakukan sepanjang hari, mungkin cukup pada lintasan alternatif tersebut saja. Yakni sepanjang Sudirman-Thamrin yang sekarang sudah berlaku pada pagi dan sore hari, ditambah lintasan yang menghubungkannya dari Medan Merdeka Utara hingga Wisma Atlet.

Gubernur DKI Jakarta sendiri telah menjanjikan bahwa wilayah konstruksi MRT yang ada akan dirapihkan sebelum Asian Games terlaksana. Termasuk penutupan lubang-lubang yang ada sehingga dapat digunakan kendaraan melintas dan tidak meliuk-liuk seperti sekarang. 

Jadi, karena sepanjang Medan Merdeka Barat yang melintas Thamrin, Sudirman, hingga Senayan, akan diberlakukan sebagai lintasan khusus kontingan Asian Games, mungkin di sana bisa dikembangkan festival yang menarik minat masyarakat untuk berduyun-duyun datang dan turut berpesta. Perhelatan yang telah mengeluarkan biaya dan pengorbanan besar itu justru mengundang simpati dan dukungan masyarakat.

Ada hal lain yang pernah saya sampaikan tapi belum cukup ditanggapi. 

Sebelum meminta pengertian dan pengorbanan masyarakat, sebaiknya mintalah hal yang sama terlebih dahulu kepada para aparat kantor pemerintah yang bekerja di sepanjang Sudirman-Thamrin-Monas agar tidak menggunakan kendaraan pribadi (termasuk bus antar-jemput maupun sepeda motor) selama Asian Games berlangsung. Mulailah dari mereka untuk menggunakan layanan angkutan umum yang disediakan. 

Begitu juga bagi kantor-kantor swasta yang ada di sana.

Hal tersebut akan mengurangi secara significant beban jalan raya di lintasan tersebut. Apalagi jika kebijakan sepeda motor tidak diperkenankan melintas saat kebijakan ganjil-genap diterapkan, juga diberlakukan kepada mereka.

Dengan demikian, tambahan armada bus yang ada bisa dioptimalkan untuk meningkatkan pelayanan bagi perjalanan mereka yang sehari-hari memang berangkat ataupun menuju kawasan itu. Termasuk layanan pengumpannya. 

Jilal Mardhani, 2 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun