Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Mencari Alternatif Kebijakan Selain Ganjil Genap pada Asian Games XVIII, Mengapa Tidak?

2 Juli 2018   14:13 Diperbarui: 2 Juli 2018   17:34 3223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trip Attraction by Zone in DKI Jakarta (pribadi)

***

Jika masyarakat Jakarta hari ini semakin tidak tertarik menggunakan angkutan umum massal yang disediakan (baik oleh pemerintah maupun swasta) sesungguhnya adalah konsekuensi logis semata. 

Layanan angkutan umum massal Jakarta dan sekitarnya sejak dahulu kala memang sangat buruk. Walaupun dalam hal tertentu dan mikro telah mencapai kinerja significant, upaya pembenahan yang dilakukan ---seperti penyediaan Transjakarta (Bus Rapid Transit) dan KRL (kereta rel listrik)--- belum banyak berarti dalam mempengaruhi layanan transportasi bagi masyarakatnya.

Sekitar 500 ribu penumpang yang diangkut Transjakarta (ditambah 1,1 juta penumpang KRL, dan 2 juta penumpang angkutan umum lain) tak banyak berarti terhadap sekitar 50 juta perjalanan yang dilakukan masyarakat Jabodetabek setiap hari. Artinya, tak sampai 8 persen perjalanan yang dapat dilayaninya.

Itulah alasan utama mengapa jumlah perjalanan yang menggunakan moda sepeda motor dan mobil terus meningkat dan merajai jalan-jalan raya hari ini.

Untuk memahami kerumitan rekayasa transportasi di Jabodetabek ini, setidaknya ada 3 latar belakang paling mendasar yang layak dicermati:

Pertama, perkotaan metropolitan Jakarta tidak pernah berkembang atau dikembangkan sejalan dengan perencanaan transportasi yang memadai. Sebab perkembangan kawasan-kawasannya selalu diinisiasi, bahkan dikendalikan, oleh para pengembang swasta sesuai lahan yang mereka kuasai.

Dengan kata lain, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pemerintah memang selalu tertinggal jauh di belakang dalam hal penyediaan prasarana dan sarana untuk melayani kebutuhan transportasi umum. Karena aktivitas perjalanan sehari-hari adalah niscaya maka masyarakat tentu berinisiatif untuk mengadakannya sendiri. 

Itulah sebabnya laju kepemilikan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil, meningkat jauh lebih pesat dibanding penduduknya. Sebab hal tersebut berkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Menyingkir dari layanan transportasi umum yang buruk adalah cita-cita pertama sebagian besar masyarakat untuk meningkatkan "kualitas" hidupnya.

Kedua, soal pedestrian atau sarana bagi pejalan kaki
Layanan angkutan umum massal tak mungkin berhenti tepat di depan tempat asal maupun tujuan masyarakat yang ingin menggunakannya sebagai fasilitas perjalanan. Mereka terlebih dahulu harus menempuh jarak tertentu untuk menuju perhentian pada lintasan angkutan umum yang tersedia. Begitu pula ketika turun dan menuju lokasi tujuan perjalanannya. 

Kesalah kaprahan paling besar dalam perkembangan kota Jakarta dan wilayah sekitarnya adalah dalam hal kebijakan fasilitas pedestrian. Dari lebih 6 ribu kilometer jaringan jalan rayanya, tercatat hanya sekitar 500 Km atau 8,6 persen yang dilengkapi dengan fasilitas trotoar. Itu pun dengan bermacam kualitas, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Padahal, berjalan kaki menuju perhentian angkutan umum adalah hal yang mutlak.

Bagaimana mungkin minat masyarakat menggunakan layanan angkutan umum massal meningkat jika ketika baru keluar dari kediamannya saja sudah tak nyaman bahkan menderita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun