Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sepak Terjang Nol Persen

23 Juni 2018   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2018   11:43 2627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Shutterstock

Rosan Roeslani yang dikenal luas sebagai mitra bisnis Sandiaga Uno sebelum terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI, adalah Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Kamis, 21 Juni 2018 kemarin, bersama dengan Sekretaris Jenderal DPP REI (Real Estat Indonesia) Totok Lusida, mereka bertemu Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia.

Mereka membahas aturan terkait pembiayaan kredit perumahan yang selama ini diberlakukan, yakni Loan to Value (LTV). Untuk rumah pertama, selama ini ditentukan sebesar 85 persen. Artinya, setiap konsumen yang berminat memiliki rumah tapak melalui fasilitas kredit perbankan harus menyediakan uang muka sebesar 15 persen.

Ketentuan inilah yang menarik perhatian saat kampanye pemilihan Gubernur DKI yang heboh tahun lalu itu. Pasangan Anies-Sandy menjanjikan program kepemilikan rumah dengan uang muka 0 persen. Sementara ketentuan Bank Indonesia soal (LTV) tersebut tak mungkin diabaikan perbankan manapun.

Logikanya, saat itu kebijakan uang muka 0 persen tersebut hanya mungkin dilakukan melalui 2 cara. Pertama, pemerintah DKI menyediakan uang muka agar warga Jakarta yang menginginkan dapat lolos dari ketentuan LTV tersebut.

Jika menggunakan kebijakan demikian maka sejumlah persoalan besar perlu dihadapi. Mulai dari kriteria warga mana yang diperkenankan menerima subsidi uang muka hingga penyediaan anggarannya. 

Cara lain adalah pemerintah DKI menyediakan fasilitas pembiayaan in house yang tak terjangkau ketentuan BI tersebut. Artinya, pinjam-meminjam langsung terjadi antara Balai Kota dengan rakyat yang menginginkan. 

Jika demikan, dari mana DKI memperoleh sumber anggarannya?

Tentu saja dari APBD. Hal yang semakin sulit di tengah beban pembiayaan investasi dan operasional Pemda DKI yang setiap tahun terus meningkat sementara pertumbuhan pendapatan daerahnya semakin menyempit. 

Apalagi sejumlah investasi yang terlanjur sudah dimulai tetap perlu dijaga keberlanjutannya. Misalnya 16 km MRT yang sedang memasuki tahap penyelesaian akhir sekarang ini. 

Layanan angkutan massal publik tersebut tentu harus dilanjutkan dengan pengembangan jalur-jalur yang lain. Hal yang kelihatannya semakin tak mudah jika perusahaan daerah yang dibentuk untuk hal tersebut harus menyediakan tambahan modal yang dibutuhkan. Belum lagi soal penyediaan anggaran untuk memberi subsidi terhadap biaya operasionalnya nanti.

Salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi BI mengeluarkan kebijakan LTV adalah untuk menghindari terjadinya peningkatan kredit macet perbankan. Singkat kata, keharusan konsumen menyediakan uang muka diharapkan dapat menjadi salah satu alat verifikasi soal eligibility calon debitur. 

LTV juga bertujuan untuk mengendalikan aktivitas spekulasi pasar properti. Kemudahan fasilitas kredit perbankan memang merupakan salah satu pemicu maraknya permintaan. 

Hal yang kemudian akan menggairahkan pasar dan meningkatkan harga penawaran. Sebab sebagian besar komponen pasar properti memang di luar kendali pemerintah. Melainkan para pemodal dan pengusaha di belakangnya. 

Biasanya, BI justru menggunakan instrumen LTV tersebut untuk mengendalikan pasar pembiayaan agar tak terjerembab oleh fenomena pertumbuhan palsu. Seperti yang dilakukannya saat pertumbuhan ekonomi melambat beberapa tahun lalu. Saat itu, LTV perumahan menengah atas justru mereka tingkatkan. 

Di tengah situasi perekonomian yang masih morat-marit ini, kesimpulan yang dilansir terkait pertemuan Gubernur BI dengan Ketua KADIN dan Sekjen REI soal DP 0 persen kemarin, cukup mengejutkan.

Di balik Kotak Hitam | 10 Tahun Komunitas Salihara (2008-2018) | Milan Seladek, Kilas Balikm (2008) | Foto Witjak Widhi Cahya (koleksi pribadi)
Di balik Kotak Hitam | 10 Tahun Komunitas Salihara (2008-2018) | Milan Seladek, Kilas Balikm (2008) | Foto Witjak Widhi Cahya (koleksi pribadi)
Pertama, pemikiran untuk meningkatkan LTV hingga 100 persen ---agar perbankan dapat membiayai tanpa uang muka--- justru dilakukan saat BI menaikkan suku bunga acuan terkait kebijakan yang sama di Amerika Serikat. 

Bahkan BI sendiri yang memperkirakan acuan suku bunga tersebut ---menyusul langkah Bank Sentral AS melakukan pengetatan kebijakan moneternya--- kemungkinan akan ditingkatkan lagi hingga 5,5 persen di akhir tahun ini.

Kenaikan tersebut tentu akan menaikkan biaya cicilan yang akan dikenakan terhadap debitur. Apalagi jika tanpa uang muka. Artinya seluruh pembelian dibiayai melalui fasilitas kredit. 

Situasi perekomian kita ---tentu saja juga dipengaruhi berbagai faktor global--- yang masih lesu dengan arah tak menentu sekarang ini, telah menyebabkan peningkatan kredit bermasalah di dunia perbankan Nasional. Tidakkah pelonggaran LTV ini justru akan mengantar kita kembali ke krisis perbqnkan? 

Sebab kebijakan itu tak hanya "menyelamatkan" Anies-Sandy dari janji kampanyenya yang tak dilontarkan melalui pengkajian konsep dan strategi implementasi yang matang. Tapi juga berpotensi sebagai "penyelamat" proyek-proyek properti raksasa yang serba tiba-tiba, tak direncanakan matang, dan penuh spekulasi. 

Seperti Meikarta yang hari ini menghadapi tuntutan pailit terkait kewajibannya kepada vendor mereka. Gonjang-ganjing kota baru yang ajaib sekaligus absurd itu segera meredup setelah Cina mengeluarkan kebijakan pengetatan investasi luar negeri bagi warganya. 

LTV nol persen yang tentunya berlaku secara Nasional itu, juga akan "merelaksasi pemasaran" properti di kawasan reklamasi pantai utara Jakarta. Kita telah maklumi kelanjutan proyek kontroversial itu setelah Anies menanda tangani Pergub 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Entah berkaitan atau tidak, saat yang sama Pemerintah DKI juga melantik pejabat UPT Fasilitas Pemilikan Rumah Sejahtera Dinas Perumahan. Dzikran Kurniawan yang sebelumnya pernah bertugas di Kementerian Keuangan ditunjuk memimpinnya sejak awal Juni lalu. 

Benang merah satu dengan yang lain, samar-samar mulai menampakkan diri. Terus terang, saya jeri dan semakin gelisah. Mudah-mudahan tak seperti bayang-bayang gelap yang semakin sering bergelayut di pikiran akhir-akhir ini. 

Jilal Mardhani, 23 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun