Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tata Krama Pergaulan Media Sosial

2 April 2018   11:30 Diperbarui: 3 April 2018   18:08 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://id.aliexpress.com/

Saya mengikuti, sekaligus mengamati, diskusi pada sejumlah kelompok media sosial terbatas. Ditinjau dari latar belakang pendidikan, rata-rata pesertanya dari kalangan terpelajar. Sebagian besar sarjana dari berbagai perguruan tinggi dalam maupun luar negeri. Tak sedikit yang telah menyelesaikan pendidikan lanjutan S2 maupun S3. Status sosial-ekonominya juga terkategori menengah ke atas.

Hal yang menarik, sebagian besar diantara mereka yang rajin bertukar pendapat di grup-grup media sosial itu, umumnya tidak sedang bekerja atau menjabat di instansi pemerintahan maupun lembaga Negara. Mereka adalah para pengusaha atau profesional yang bekerja pada lembaga non pemerintah (swasta) dari berbagai bidang.

Biasanya, suasana diskusi menjadi meriah ketika ada yang melontarkan topik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Atau hal-hal yang menyangkut situasi sosial-politik yang sedang berkembang dinamis akhir-akhir ini.

Mestinya, saya menyempatkan diri untuk melakukan perhitungan statistik sederhana terlebih dahulu. Katakanlah tentang persentase jumlah peserta yang aktif terlibat diskusi. Sebab dari jumlah anggota yang terdaftar pada setiap grup itu, sesungguhnya hanya segelintir yang terlibat aktif. Rata-rata tak sampai 10 persennya. Itupun sudah termasuk mereka yang hanya nimbrung dan berkomentar singkat sekali-dua. Sementara 90 persen sisanya cenderung mengikuti secara pasif.

Sebetulnya, ada beberapa pejabat teras lembaga pemerintah --- maupun institusi negara lainnya --- yang juga bergabung sebagai anggota grup-grup sosial media tersebut. Tapi biasanya mereka sangat irit berpendapat. Bahkan pelit. Meskipun pembicaraan yang sedang berlangsung berkaitan langsung dengan aktivitas sehari-hari yang dilakoninya. 

Mereka hampir tak pernah bersuara kecuali urusan ramah-tamah seperti menyampaikan salam, ucapan selamat pada yang berulang tahun, belasungkawa kepada yang sedang tertimpa musibah, dan sejenisnya. Di luar hal itu, sesekali ada juga diantaranya yang meneruskan kabar atau pernyataan resmi dari pemerintah. Hal yang wajar karena mereka memang berada di lingkaran kekuasaan.

Tapi bukan pendapat atau pemikiran pribadinya!

Alasan pertama, mungkin mereka memang sangat sibuk. Sebab, walau sekali pun hanya memberi tanggapan singkat, bisa dipastikan berondongan pertanyaan atau tanggapan susulan dari anggota lain segera bertebaran. Tentu bukan hal yang mudah. Selain kesibukan mereka yang luar biasa, diskusi yang berkembang bisa jadi bersangkut paut dengan sesuatu yang masuk kategori 'rahasia'. 

Atau bisa jadi memancing interpretasi maupun prasangka yang berkembang liar dan akhirnya merepotkan yang bersangkutan sendiri. Jika demikian, mereka memang sebaiknya menyediakan diri untuk menjelaskan atau memberi tanggapan lanjutan. Supaya pernyataan atau komentar yang disampaikannya tak disalah pahami.

Alasan kedua, bisa jadi mereka tak memiliki kepiawaian menyampaikan pendapat dan pemikiran sendiri. Sebagai sosok-sosok yang terlibat langsung pada topik-topik yang sedang dibahas, mereka tentu lebih memahami dan menguasai persoalannya. Kadangkala hal yang berkembang dalam diskusi sebetulnya tak bersangkut paut dengan sesuatu yang tabu dibicarakan. 

Hal yang dibutuhkan hanya sikap setara untuk saling asah, asih, dan asuh. Sebab keberadaan mereka pada sebagian besar group sosial media itu berangkat dari sejarah perkerabatan yang unik dan bukan bersifat sesaat. Di sana semestinya guyub dan tak ada hirarki.

Alasan ketiga, mungkin mereka sesungguhnya tak sungguh-sungguh menguasai topik yang sedang dibahas. Walaupun tugas pokok dan fungsinya bersentuhan langsung. Tentu mereka khawatir. Jika komentarnya ngawur, bukan hanya akan merongrong kredibilitasnya. Tapi juga lembaga Negara atau institusi pemerintah tempatnya mengabdi.

+++

Kelompok-kelompok terbatas yang memanfaatkan teknologi sosial media hari ini, banyak yang berangkat dari maksud dan tujuan mempererat silaturahmi. Media tersebut memungkinkan para anggota yang tergabung di dalamnya, tetap terhubung satu dengan yang lain. Saling mengasah, saling mengasihi, dan saling mengasuh tanpa dibatasi waktu dan jarak lagi. Wadah yang sesungguhnya memberdayakan konsepsi gotong-royong dan demokratisasi. Sebab kini jauh lebih memungkinkan untuk saling berbagi dan melengkapi satu dengan lainnya.

Itulah sebabnya mengapa 'sharing' menjadi ciri utama Revolusi Industri 4.0 hari ini. Latar belakang utamanya adalah produktifitas. Sebab penguasaan exclusive semakin diyakini menyisakan pemborosan yang sia-sia. Tak hanya berlaku dalam penyediaan asset, tapi juga pasar, kapital, teknologi, maupun pengetahuan.

Filosofi 'sharing' bukan ingin menyingkirkan peran kompetensi. Tapi menggeser posisi prioritasnya dengan kapabilitas. Hal yang perlu dan harus di-mampu-kan melalui multi kompetensi yang saling berkontribusi dan melengkapi. Dari sanalah kemudian lahir berbagai gagasan kreatif dan inovatif yang menyingkirkan berbagai pola maupun tatanan kuno dan usang yang berlaku sebelumnya.

+++

Revolusi Industri 4.0 sedang mengembang-biakkan sebuah budaya kehidupan manusia yang baru. Berbagai pola, prilaku, dan adat-istiadat yang sebelumnya berkembang, bahkan pernah kita imani, segera akan terjungkir-balik.

Revolusi yang sedang berlangsung ini sesungguhnya sangat 'memberdayakan' kesetaraan manusia. Revolusi itu kelak hanya menyisakan ruang yang unik bagi keyakinan, tekad, dan cita-cita pada keinginan untuk melakukan kebaikan bagi kehidupan dunia dan kemanusiaan yang lebih baik. Meskipun yang bersangkutan kelak sudah tak hidup di sini lagi.

Maka Revolusi Industri 4.0 ini sesungguhnya adalah perjuangan yang sesuai bagi mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri.

+++

Ketika anggota lain pada suatu grup sosial media terbatas, memiliki alasan kuat untuk menduga Anda terlibat, bahkan memahami, topik-topik yang sedang dibicarakan --- apalagi sampai meminta perhatian dengan menyebut langsung nama Anda --- sebaiknya luangkanlah sedikit waktu untuk menanggapinya.

Jika tidak, mungkin sebagian yang lain lambat laun akan meyakini 'kebenaran' dari hal-hal yang sejatinya 'tidak benar' atau 'kurang sesuai' yang sedang dibicarakan. Sebab, 'kebohongan' yang terus-menerus disampaikan tanpa bantahan memadai, pada akhirnya bisa menjadi 'kebenaran'.

Sebaiknya Anda selalu mengingat bahwa keberadaan di dalam group sosial media itu, sesungguhnya berangkat dari keinginan dan semangat kebersamaan yang guyub. Bukan atas dasar relasi kuasa apa pun. Kecuali grup-grup yang memang diadakan untuk itu. Ingatlah, perkerabatan Anda dengan anggota yang lain di sana tak akan bubar, meskipun kekuasaan dan jabatan yang hari ini dimiliki, kelak pasti  berakhir.

Jilal Mardhani, 2 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun