Kasus ini menghadirkan dilema lain bagi pembayar pajak Indonesia seperti saya. Bagaimanapun, penghasilan yang saya terima sebagai honor fasilitator pelatihan tersebut, semestinya tetap dilaporkan. Seandainya belum ada pemotongan apapun, saya tetap bisa memperhitungkan pajak terhutang yang harus dilunasi.
Bagaimana jika saya tak mengakuinya?
Sementara waktu mungkin aman dan belum terlacak. Mungkin hingga suatu saat nanti, kantor pajak melakukan pemeriksaan di perusahaan rekan itu dan menemukan pengeluaran (expenses) yang ditujukan kepada saya. Dari sana kantor pajak akan memiliki bukti permulaan untuk mempertanyakan dan menyelidik dugaan penggelapan pajak yang saya lakukan.
Begitu pula sebaliknya.
Jika saya mencantumkan sebagai pendapatan lain-lain yang menjadi obyek kewajiban pribadi, kantor pajak juga memiliki bukti permulaan untuk menelusuri pembayarnya.
+++
Hal di atas sesungguhnya menjelaskan kebijakan pemberian NPWP yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki penghasilan di atas PTKP adalah sebuah kekeliruan. Sebab NPWP semestinya melekat pada lembaga atau perorangan yang melakukan transaksi apapun. Soal tarif yang membedakan, bahkan 0 persen sekalipun, adalah hal lain.
Begitu pula soal PKP. Tertib pajak dimulai dari sana.
Negara harus "move on". Manfaatkan kemajuan teknologi dan peradaban zaman. Jangan terus terjerembab dengan sistem dan tatanan birokrasi kuno yang sudah ketinggalan zaman. Sebab, ujung dari digitalisasi yang menghadirkan berbagai disrupsi dalam kehidupan kita hari ini, berujung pada demokratisasi yang meletakkan semuanya pada posisi setara: pemerintah maupun rakyatnya.
Jilal Mardhani, 20-3-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H