Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajarlah seperti Presiden Joko Widodo

25 Februari 2018   17:54 Diperbarui: 26 Februari 2018   10:39 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beliau memaklumi Anies apa adanya. Hanya berbicara dan membicarakan hal semestinya, tanpa perlu menimbulkan 'kegaduhan' yang sangat tak disukainya. Rekaman keakraban keduanya jelas terlihat saat final Piala Presiden di Senayan kemarin. 

Jokowi terlihat sumringah memberi selamat kepada Anies yang duduk sepanggung. Sampai akhirnya insiden tak perlu itu terjadi. Anies dicegah Paspampres turun menyertai Joko Widodo untuk menyerahkan piala kepada Persija yang memenangkan pertandingan malam itu. Semata karena panitia yang diketuai Maruarar Sirait, kader PDIP, 'lalai' mencantumkan nama Gubernur Jakarta itu pada program acara.

Lalu Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang juga kader PDIP. Entah tak bernyali atau sengaja, dia tak melakukan hal yang 'sepatutnya' untuk mencegah perubahan UU tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang dihebohkan karena menempatkan para wakil rakyat 'steril' dari jangkauan hukum. Joko Widodo seperti tak memiliki 'pasukan pembantu' dan dibiarkan bertempur sendiri. Rancangan UU yang selama prosesnya menuai kritik dari segala penjuru tersebut, begitu saja hadir di mejanya untuk ditanda-tangani. Nyatanya beliau terperanjat dan menyatakan keheranan atas sejumlah pasal yang memang marak menuai keberatan dari hampir semua lapisan masyarakat Indonesia.

Lalu, masihkah percaya kalau Joko Widodo bekerja untuk tebar pesona agar dicalonkan kembali sebagai Presiden RI periode 2019 - 2024?

Warisan Orde Baru

Bangsa kita memang hampir tak pernah mengembangkan gagasan membangun yang komprehensif dan terintegrasi (developing idea). Paling sebagai 'perdagangan' yang sifatnya sangat transaksional. Mungkin karena negeri ini semula terlalu kaya sumberdaya alamnya, terlalu besar, dan terlalu 'miskin' pula.

Sejak merdeka, persoalan utama yang dihadapi bukan sekedar membangun. Tapi juga menghadapi kemiskinan agar kehidupan sehari-hari masyarakat bisa berlangsung damai dan bergairah. 

Maka pertolongan bangsa lain yang telah lebih dahulu maju dan mampu, sesungguhnya tak mungkin dihindari. Kekayaan sumberdaya alam yang menjadi alasan mengapa sebelumnya mereka tergiur menjajah kita, menjadi tak berarti ketika kita belum memiliki kemampuan untuk mengeksploitasi dan mengembangkan nilai tambahnya. Kehadiran dan kerjasama dengan mereka memang sebuah keniscayaan.

Sukarno pernah marah ketika Amerika terlalu mendikte kemauan sejalan dengan bantuan yang mereka berikan. Sikap dan prinsip yang dikumandangkannya untuk mengambil posisi 'merdeka' sehingga tak menjadi 'kacung' salah satu blok kekuasaan global saat itu (barat dan komunis) --- 'go to hell with your aids' merupakan salah satu ungkapannya yang terkenal --- berakhir dengan mala petaka. Maka Proklamator Kemerdekaan itu kemudian digulingkan bangsanya sendiri.

Lalu Suharto menerima mandat kekuasaan. Ia membuka diri dan sangat kooperatif dengan berbagai kepentingan Barat. Demi pertolongan yang mereka tawarkan untuk membangun bangsa kita. Terutama dalam hal ekonomi. Sebab stabilitas dalam negeri saat itu hanya mungkin tercapai jika kita mampu memerangi kemiskinan, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, mengendalikan ketersediaan dan harga kebutuhan pokok, serta berbagai faktor yang menyangkut kesejahteraan rakyat lainnya.

Untuk melakukan semua itu, mau tidak mau Suharto memang harus menggadaikan berbagai kekayaan sumber daya alam kita yang memang sangat diminati negara-negara maju yang menawarkan bantuan. Singkat kata, 'transaksi perdagangan' tersebut mungkin adalah pilihan terbaik yang kita miliki saat itu.

Persoalannya, Suharto memaklumi para pembantunya yang mengambil keuntungan pribadi dari 'transaksi perdagangan' tersebut. Bahkan kemudian, dia sendiri yang mengembangkan dan mengendalikan jaringan kroni yang menguasai bisnis rente 'Indonesia on sales'. Persoalan mendasar kita yang memang belum memiliki kemampuan untuk memberdayakan sendiri kekayaan yang dimiliki --- mulai dari kapital, teknologi, hingga sumberdaya manusia --- hanya dijadikan alasan pembenaran semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun